![]() |
| Rekam jejak TVRI dan RRI di Timor Leste, sejarah penyiaran Indonesia, siaran televisi dan radio, integrasi Timor Timur, media masa lalu. (Instagram/@hirzq) |
TVRI mulai mengudara di Timor Timur, wilayah yang kini dikenal sebagai Timor Leste, pada 16 Juli 1978 melalui stasiun relay di Marabia, Dili. Kehadiran siaran televisi nasional Indonesia ini menjadi salah satu instrumen komunikasi politik dan sosial pemerintah Orde Baru setelah integrasi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, RRI Dili resmi mengudara pada 1981 dengan siaran radio 24 jam. Kedua media ini menjadi tulang punggung informasi pemerintah Indonesia di provinsi termuda saat itu, hingga akhirnya berhenti bersiaran pada 1999 setelah referendum kemerdekaan.
Awal kehadiran TVRI
Menurut catatan sejarah, stasiun relay TVRI di Dili diresmikan pada 16 Juli 1978, dua tahun setelah Indonesia mengintegrasikan Timor Timur melalui Sidang Umum MPR 1976. Relay ini menerima siaran langsung dari Jakarta untuk kemudian dipancarkan ke masyarakat lokal.
![]() |
| TVRI Dili Merupakan bekas stasiun televisi daerah yang dimiliki dan dijalankan oleh TVRI saat Timor Timur masih menjadi salah satu provinsi di Indonesia. (Instagram/@hirzq) |
Selain di Dili, pemerintah juga membangun jaringan relay di kota lain seperti Maliana, Baucau, Lospalos, Suai, Viqueque, dan Ambeno. Infrastruktur penyiaran ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan siaran televisi dan memperkuat identitas kebangsaan Indonesia di wilayah baru tersebut.
“TVRI bukan sekadar media hiburan, tetapi alat negara untuk mengintegrasikan masyarakat ke dalam sistem politik Indonesia,” jelas sejarawan media, Prof. Agus Suwignyo dari Universitas Gadjah Mada, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
Meski memiliki fungsi strategis, keberadaan TVRI di Timor Timur tidak selalu berjalan mulus. Pada 10 Juni 1980, stasiun TVRI di Dili diserang oleh kelompok bersenjata Fretilin. Serangan tersebut menewaskan dua anggota Brimob Polwil Timor Timur, meski siaran kemudian tetap dipertahankan.
RRI sebagai medium suara
Radio Republik Indonesia hadir sedikit lebih lambat. RRI Dili mulai mengudara pada 1981 dengan daya pancar sekitar 1 Kwh. Dengan jangkauan siaran yang luas, radio ini beroperasi 24 jam dan menjangkau hampir seluruh wilayah Timor Timur.
Program siarannya beragam, mencakup berita nasional, program pedesaan, siaran wanita, keagamaan, serta hiburan. Selain bahasa Indonesia, RRI juga menyiarkan program dalam bahasa Tetun, bahasa lokal yang banyak digunakan masyarakat Timor Timur.
Untuk memastikan pesan pemerintah sampai ke masyarakat, pemerintah Indonesia juga membagikan radio kaset kepada kepala sekolah dan sekretaris desa. Cara ini membuat siaran RRI menjadi sumber utama informasi bagi warga yang tidak memiliki akses televisi.
“Radio menjadi media paling efektif di daerah pedalaman. Kami bisa mendengar berita Jakarta setiap hari, meskipun banyak yang merasa isinya terlalu satu arah,” ujar Manuel Soares, mantan guru di Baucau yang menjadi saksi hidup periode integrasi.
Selain siaran televisi dan radio, pemerintah juga menerbitkan media cetak sederhana. Salah satunya Buletin Penerangan, kemudian disusul Nabilan di Baucau, serta buletin bertajuk Penerangan Wanita Pedesaan.
Sebagian besar media cetak ini diproduksi menggunakan mesin stensil dan didistribusikan ke sekolah, kantor desa, dan kelompok masyarakat. Kontennya umumnya berisi berita pembangunan, informasi kesehatan, serta narasi kebangsaan Indonesia.
“Media cetak ini memang tidak populer seperti radio atau televisi, tetapi punya peran dalam pendidikan politik masyarakat,” kata Dr. Maria do Céu, peneliti media di Dili Institute of Technology.
Tantangan menjelang kemerdekaan
Memasuki akhir 1990-an, keberadaan RRI dan TVRI di Timor Timur menghadapi tantangan besar. Krisis ekonomi 1997–1998 membuat biaya operasional siaran, terutama melalui satelit, kian berat.
Tekanan itu kian terasa ketika suhu politik memanas menjelang referendum penentuan nasib. Stasiun TVRI Dili menjadi yang pertama menghentikan siarannya, disusul RRI Dili pada 23 September 1999.
Rekaman siaran terakhir RRI yang kemudian dipublikasikan menampilkan salam perpisahan mengharukan dari penyiar, sebuah tanda berakhirnya kehadiran media pemerintah Indonesia di wilayah itu.
Hanya beberapa pekan sebelumnya, pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur baru saja menentukan masa depan mereka melalui referendum yang menghasilkan pilihan mayoritas untuk merdeka dari Indonesia. Setelah hasil diumumkan, situasi keamanan memburuk. Penutupan siaran RRI dan TVRI berlangsung nyaris bersamaan dengan penarikan pasukan ABRI pada 24 September 1999.
Pasca-referendum, Timor Timur memasuki masa transisi penuh ketidakpastian. Menurut arsip PBB, periode ini ditandai dengan kekosongan informasi karena ketiadaan lembaga penyiaran resmi.
Celah itu kemudian diisi oleh media internasional dan radio komunitas lokal, yang menjadi sumber utama kabar bagi masyarakat hingga Radio e Televisão de Timor-Leste (RTTL) berdiri dan menempati bekas gedung RRI serta TVRI setelah direnovasi.
![]() |
| Radio e Televisão de Timor-Leste merupakan penyiar radio dan televisi nasional di Timor Leste. RTTL beroperasi sebagai perusahaan publik berdasarkan keputusan hukum. (Instagram/@hirzq) |
RTTL berfungsi sebagai media utama pemerintah baru Timor Leste, sekaligus simbol kedaulatan negara di bidang komunikasi. Meski demikian, pengaruh siaran Indonesia tetap terasa. Hingga kini, sebagian masyarakat di Dili dan wilayah perbatasan masih bisa menangkap siaran televisi dan radio dari Kupang, Nusa Tenggara Timur.
“Banyak keluarga tetap menonton TV Indonesia, terutama untuk hiburan. Bahasa Indonesia juga masih dimengerti generasi tua,” jelas Virgílio Guterres, mantan Presiden Dewan Pers Timor Leste.
Jejak sejarah yang kompleks
Keberadaan RRI dan TVRI di Timor Leste mencerminkan kompleksitas hubungan Indonesia dan Timor Timur selama 24 tahun integrasi. Di satu sisi, media berfungsi sebagai saluran informasi pembangunan dan hiburan.
Di sisi lain, ia juga menjadi instrumen propaganda politik yang seringkali dikritik sebagai tidak memberi ruang bagi suara alternatif.
Meski sudah lama berhenti bersiaran, jejak TVRI dan RRI masih diingat oleh banyak warga Timor Leste. Beberapa mantan pegawai lokal bahkan melanjutkan kariernya di RTTL setelah 2002.
Bagi sejarawan, keberadaan media ini menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana Indonesia berusaha membangun legitimasi di wilayah yang kemudian memilih jalan berbeda.
Kisah TVRI dan RRI di Timor Leste bukan sekadar catatan tentang siaran televisi dan radio, tetapi juga bagian dari sejarah panjang integrasi dan perpisahan.
Dari stasiun relay yang diresmikan pada 16 Juli 1978 hingga penutupan siaran pada September 1999, media ini mencerminkan dinamika politik, budaya, dan identitas di kawasan.
Dua dekade setelah kemerdekaan, jejak itu tetap menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Timor Leste, sekaligus pengingat bagaimana media berperan penting dalam membentuk persepsi dan arah sejarah sebuah bangsa.



0Komentar