Uji coba produksi hidrogen hijau di Ulubelu, Lampung, digadang sebagai tonggak transisi energi. Namun jalan panjang menuju industri hidrogen masih dipenuhi tantangan teknologi, biaya, dan komitmen politik. (Dok PLN)

Peletakan batu pertama pabrik hidrogen hijau berlangsung di Ulubelu, Lampung, Selasa (15/4/2025). Acara ini menandai dimulainya proyek percontohan produksi hidrogen hijau oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu. 

Pemerintah menyebut langkah ini sebagai upaya mempercepat transisi energi nasional, dengan memanfaatkan sumber daya panas bumi yang tersedia di dalam negeri.

PGEO menggandeng sejumlah vendor teknologi energi hijau untuk menghadirkan fasilitas ini. Pabrik tersebut dirancang sebagai laboratorium energi bersih yang akan menguji pemanfaatan hidrogen hijau di sektor transportasi maupun industri. 

Kapasitas awal masih tergolong kecil, sekitar 100 kilogram per hari, dengan memanfaatkan listrik dari empat unit PLTP Ulubelu berdaya total 220 megawatt.

Menurut perusahaan, pabrik ini tidak akan menambah emisi karbon karena seluruh sumber energinya berasal dari geothermal. Proyek yang diperkirakan menelan investasi jutaan dolar AS ini difokuskan sebagai uji pasar sekaligus pijakan awal pengembangan industri hidrogen hijau di Indonesia.

Pembangunan fasilitas ini melibatkan belanja modal sekitar US$3 juta, termasuk untuk pengadaan teknologi electrolyzer berbasis Anion Exchange Membrane (AEM) serta infrastruktur pendukung. 

PGEO menegaskan bahwa pilot plant ini bukan proyek komersial penuh, melainkan tahap awal untuk membuktikan kelayakan teknis dan keekonomian hidrogen hijau di tanah air.

AEM dipilih karena dianggap lebih efisien dalam penggunaan material dibanding teknologi lain seperti Proton Exchange Membrane (PEM). Namun, sejumlah laporan menekankan biaya produksi hidrogen hijau dengan teknologi ini masih jauh lebih tinggi dibanding hidrogen berbasis gas alam.

Langkah PGEO ini sejalan dengan Peta Jalan Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN) 2025–2060 yang telah dirilis pemerintah. Dokumen tersebut merupakan turunan dari strategi energi nasional dan memetakan tahapan pengembangan hidrogen hijau di Indonesia.

Pada fase inisiasi 2025–2034, proyek seperti Ulubelu diharapkan menjadi laboratorium untuk menguji kelayakan teknologi dan pasar. Dalam proyeksi RHAN, permintaan hidrogen domestik pada 2060 bisa mencapai 11,7 juta ton per tahun, sementara potensi produksinya diperkirakan 17,5 juta ton per tahun.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dalam forum Global Hydrogen Ecosystem 2025 di JCC Senayan mengatakan, regulasi khusus hidrogen belum disiapkan pemerintah. 

“Kalau ditanya, bagaimana regulasinya? Memang selama ini kita bikin regulasi itu baru mobil listrik, belum hidrogen. Kalau sudah banyak, sudah bagus, dan kita lihat potensi market-nya sudah ada, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian,” ujarnya.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik pembangunan pabrik hidrogen hijau di Ulubelu. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut proyek ini dapat memperkuat ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil.

“Di tingkat global produksi hidrogen tumbuh pesat, melampaui permintaan dalam lima tahun terakhir,” katanya. 

Menurut dia, meski pasar hidrogen masih melalui fase turbulensi, pola ini tidak jauh berbeda dengan perkembangan energi surya atau angin di awal pengembangannya.

Fabby juga menekankan perlunya membangun pasar dan permintaan domestik, bukan hanya kapasitas produksi. 

“Ini menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga berpeluang menjadi eksportir hidrogen bersih,” ujarnya.


Tren dan dinamika global

Secara global, hidrogen bersih tengah menghadapi dinamika yang kompleks. Laporan International Energy Agency (IEA) Global Hydrogen Review 2025 menunjukkan minat investor melemah akibat ketidakpastian kebijakan dan kenaikan harga teknologi elektroliser. Penurunan harga gas alam juga memperlebar kesenjangan biaya antara hidrogen fosil dan hijau.

Akibatnya, banyak proyek hidrogen di dunia yang ditunda atau dibatalkan. Proyeksi produksi hidrogen rendah emisi pada 2030 bahkan dipangkas dari 49 juta ton per tahun menjadi 37 juta ton per tahun.

Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol, mengingatkan perlunya peran pemerintah dalam mendorong pertumbuhan sektor ini. 

“Data terbaru mengindikasikan bahwa pertumbuhan teknologi hidrogen baru berada di bawah tekanan karena tantangan ekonomi dan ketidakpastian kebijakan, tetapi kami masih melihat tanda-tanda kuat bahwa pengembangannya terus berjalan secara global,” ucapnya.

Ia menambahkan, “Untuk membantu pertumbuhan berlanjut, pembuat kebijakan harus mempertahankan skema dukungan, menggunakan alat yang mereka miliki untuk mendorong permintaan, dan mempercepat pengembangan infrastruktur yang diperlukan.”

Menurut Hydrogen Council, kapasitas hidrogen bersih yang sudah dikomitmenkan hingga 2025 melebihi 6 juta ton per tahun, sementara permintaan baru sekitar 3,6 juta ton per tahun. 

Secara global, lebih dari 500 proyek hidrogen telah diumumkan dengan nilai investasi mencapai US$110 miliar, baik yang sudah mencapai final investment decision, tahap konstruksi, maupun beroperasi.

Namun, mayoritas permintaan hidrogen dunia hampir 100 juta ton pada 2024 masih dipenuhi dari sumber berbasis fosil tanpa penangkapan karbon. Kondisi ini membuat hidrogen hijau belum kompetitif dari sisi harga.


Posisi Indonesia di peta energi hijau

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan hidrogen hijau. Dengan sumber energi terbarukan yang melimpah seperti panas bumi, surya, angin, air, dan biomassa, pemerintah menargetkan hidrogen bisa menjadi bagian penting dari bauran energi nasional pada dekade mendatang.

IESR menilai, agar peluang ini terwujud, Indonesia perlu segera menyiapkan kebijakan insentif, regulasi yang jelas, serta model bisnis yang bankable. Tanpa itu, proyek pilot seperti Ulubelu dikhawatirkan hanya menjadi simbolis tanpa tindak lanjut ke skala industri.

Salah satu tantangan utama pengembangan hidrogen hijau adalah rantai pasok teknologi. Laporan IEA menyebut lebih dari 65 persen kapasitas produksi elektroliser dunia dikuasai China. Ketergantungan ini membuat biaya proyek fluktuatif dan rentan terhadap perubahan harga komponen.

Di sisi lain, teknologi AEM yang digunakan di Ulubelu relatif baru dibandingkan PEM atau alkaline. Beberapa studi menyebut AEM menjanjikan biaya produksi lebih rendah, tetapi masih dalam tahap uji coba skala kecil.

Proyek Ulubelu dipandang sebagai sinyal serius Indonesia dalam mengikuti tren global energi bersih. Meski masih skala kecil, fasilitas ini dapat membuka jalan bagi integrasi hidrogen ke berbagai sektor, mulai dari transportasi berbasis sel bahan bakar hingga industri baja dan pupuk.

Bagi Lampung, kehadiran pilot plant juga bisa menjadi pusat riset dan pengembangan energi baru. Pemerintah daerah menyatakan siap mendukung agar proyek ini membawa manfaat bagi masyarakat setempat, baik dari sisi lapangan kerja maupun alih teknologi.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, pemerintah tidak ingin terburu-buru mengeluarkan regulasi sebelum ada kepastian pasar. 

“Kalau sudah banyak, sudah bagus, dan kita lihat potensi market-nya sudah ada, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian,” katanya.

Pernyataan itu menimbulkan perdebatan di kalangan pengamat energi. Sebagian menilai pendekatan tersebut kontraproduktif karena regulasi justru dibutuhkan untuk menarik investor sejak awal. Namun pemerintah berdalih strategi bertahap lebih realistis di tengah ketidakpastian global.