Partai politik baru di Jepang, The Path to Rebirth atau Saisei no Michi, resmi menunjuk kecerdasan buatan (AI) sebagai pemimpin partai. Pengumuman dilakukan pada Selasa, 16 September 2025, setelah pendiri sekaligus ketua partai, Shinji Ishimaru, mundur usai gagal meraih kursi dalam pemilu.
Keputusan unik ini disampaikan langsung oleh Koki Okumura, mahasiswa doktoral Universitas Kyoto berusia 25 tahun yang kini ditunjuk sebagai asisten pemimpin partai.
“Pemimpin baru kami adalah AI,” kata Okumura dalam pernyataannya. Ia menegaskan, AI tidak akan mengatur kegiatan politik anggota, melainkan hanya fokus pada keputusan administratif seperti pembagian sumber daya antaranggota.
Shinji Ishimaru sebelumnya mengejutkan publik saat menduduki posisi kedua dalam pemilihan gubernur Tokyo 2024 lewat kampanye berbasis daring. Namun, partai yang didirikannya Januari 2025 itu gagal total dalam dua pemilu besar tahun ini.
Pada Juni, seluruh 42 kandidat Path to Rebirth kalah dalam pemilihan majelis Tokyo. Sebulan kemudian, 10 kandidat partai juga tak berhasil menembus parlemen dalam pemilu majelis tinggi.
Kegagalan beruntun membuat Ishimaru mengumumkan pengunduran diri pada 27 Agustus. Partai kemudian menggelar pemilihan internal, yang dimenangkan oleh Okumura, sebelum akhirnya menunjuk AI sebagai pemimpin simbolis.
Okumura menekankan bahwa detail teknis penggunaan AI sebagai ketua partai masih dibahas.
“AI tidak akan mengatur aktivitas politik para anggota, melainkan berfokus pada keputusan administratif, seperti pembagian sumber daya di antara anggota,” ujarnya.
Model kepemimpinan ini dianggap selaras dengan karakter partai yang sejak awal tidak memiliki platform kebijakan kaku, melainkan membebaskan anggotanya menentukan agenda masing-masing.
Langkah Jepang bukan satu-satunya di dunia. Albania bahkan lebih dulu memperkenalkan “menteri AI” bernama Diella pada pekan lalu.
Perdana Menteri Edi Rama menunjuk Diella sebagai menteri antikorupsi dengan tugas utama mengawasi tender publik agar sepenuhnya bebas korupsi.
Rama menyebut Diella sebagai “anggota kabinet yang tidak hadir secara fisik” yang akan memastikan setiap dana publik dikelola secara transparan.
Diella sebelumnya sudah diperkenalkan Januari lalu sebagai asisten virtual di platform layanan publik e-Albania. Sistem ini telah menangani puluhan ribu dokumen digital dan ribuan layanan bagi warga.
Kendati begitu, langkah ini menuai perdebatan. Di Albania, oposisi menyebut penunjukan AI sebagai menteri melanggar konstitusi karena pejabat seharusnya manusia dengan tanggung jawab hukum jelas.
Publik juga mempertanyakan apakah janji “100 persen bebas korupsi” bisa terwujud tanpa celah manipulasi.
Di Jepang, pengangkatan AI sebagai pemimpin partai juga menimbulkan pertanyaan soal transparansi, mekanisme pengawasan, hingga legitimasi politik.
Meski begitu, langkah ini menunjukkan tren baru penggunaan kecerdasan buatan dalam struktur politik, yang mulai bergeser dari sekadar alat bantu menjadi simbol kepemimpinan.

0Komentar