![]() |
| Polri mengusulkan perluasan perlindungan saksi dalam revisi UU, menyoroti ancaman serius termasuk saat perwira tinggi menjadi tersangka kriminal. (tacticalinpolice.com) |
Polri mengusulkan perluasan cakupan perlindungan saksi, termasuk bagi anggota kepolisian sendiri, dalam pembahasan revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Usulan itu disampaikan Wakil Direktur Tindak Pidana Umum (Wadirtipidum) Bareskrim Polri, Kombes Pol Burkan Rudy Satria, dalam rapat di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (17/9).
Burkan mengatakan, perlindungan ini dibutuhkan karena polisi kerap kesulitan mengusut kasus tindak pidana ketika pelakunya justru perwira tinggi atau pejabat dengan jabatan kuat. Menurutnya, bawahan sering enggan memberikan kesaksian lantaran takut dengan risiko yang mengintai.
“Ketika anggota-anggota kita yang memiliki jabatan kekuatan tinggi berperan sebagai pelaku, kesaksiannya repot yang di bawah-bawahnya ini. Untuk itu perlu perluasan cakupan perlindungan,” ujarnya, seperti dikutip dari kompas.com.
Ia menambahkan, ancaman terhadap saksi tidak hanya terjadi dalam kasus korupsi, narkotika, atau tindak pidana pencucian uang, tetapi juga di tindak pidana umum. Burkan mencontohkan, tak sedikit saksi tindak pidana umum yang menghadapi intimidasi, bahkan hingga meninggal dunia.
“Faktanya, banyak juga di tindak pidana umum saksi yang mendapat ancaman, bahkan sampai meninggal. Ini mau tidak mau kita harus melakukan perlindungan,” kata dia.
Dalam forum yang sama, Burkan mengusulkan agar Polri menempatkan personel secara permanen di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Selama ini, penugasan personel hanya bersifat ad hoc sehingga dinilai tidak efektif. Menurutnya, kehadiran polisi di LPSK akan mempercepat koordinasi dalam memberikan perlindungan kepada saksi yang terancam.
“Belum lagi pelakunya itu aparat, atau mungkin orang-orang yang memiliki kekuatan tertentu, ini lebih risiko lagi terhadap saksi. Ini banyak kita alami juga,” kata Burkan menambahkan.
Usulan Polri tersebut muncul di tengah pembahasan revisi UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Regulasi yang berlaku saat ini memang mengatur sejumlah hak saksi, mulai dari kerahasiaan identitas, tempat kediaman sementara, hingga pemberian identitas baru. Namun, Polri menilai aturan itu perlu diperluas agar perlindungan bisa lebih maksimal.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyambut positif usulan penempatan personel Polri di lembaganya. Menurutnya, koordinasi antarlembaga mutlak diperlukan untuk memastikan saksi benar-benar aman.
“Kita sering menghadapi situasi darurat di mana saksi perlu dilindungi segera. Kalau ada perwakilan Polri, tentu koordinasi bisa lebih cepat,” ujarnya saat dimintai konfirmasi.
Pembahasan revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban masih berlangsung di DPR. Sejumlah fraksi disebut mendukung penguatan peran LPSK serta memperluas cakupan perlindungan ke lebih banyak jenis tindak pidana.
Dalam beberapa kasus besar, pentingnya perlindungan saksi pernah terlihat nyata. Salah satunya kasus pembunuhan berencana yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Saat itu, Bharada Richard Eliezer yang bersedia menjadi justice collaborator mendapatkan perlindungan khusus agar bisa memberikan kesaksian. Kasus tersebut menjadi salah satu contoh betapa rumitnya penyidikan ketika pelaku adalah pejabat tinggi kepolisian.
Selain itu, kasus sate beracun di Yogyakarta juga menunjukkan pentingnya peran saksi kunci yang harus dijaga keamanannya. Dalam kasus itu, saksi berhasil membantu polisi mengungkap pelaku setelah mendapat perlindungan yang cukup dari penyidik.
Melalui revisi undang-undang, Polri berharap saksi, termasuk polisi, bisa merasa lebih aman ketika diminta memberikan keterangan. Dengan begitu, proses hukum dapat berjalan tanpa ada tekanan maupun ancaman terhadap pihak yang terlibat.

0Komentar