![]() |
| Operasi militer Israel di Gaza memasuki fase baru dengan serangan darat, udara, dan laut. Ribuan warga sipil tewas, rumah sakit lumpuh, dan dunia internasional mengecam keras. (Anadolu Agency) |
Israel meningkatkan operasi militer besar-besaran di Gaza sejak 16 Mei 2025 melalui operasi bernama Operation Gideon’s Chariots. Serangan ini memasuki fase kedua pada September dengan fokus merebut Kota Gaza, yang disebut sebagai benteng terakhir Hamas.
Serangan darat, udara, dan laut berlangsung serentak, menimbulkan kehancuran luas dan korban sipil yang terus meningkat.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 64.900 warga Palestina tewas sejak perang pecah pada Oktober 2023. Dalam 24 jam terakhir, setidaknya 101 orang dilaporkan meninggal akibat serangan intensif di Kota Gaza.
Badan-badan internasional menegaskan sekitar 80–90% korban adalah warga sipil, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Citra satelit yang dirilis lembaga pemantau memperlihatkan 1.800 bangunan hancur atau rusak di sekitar Kota Gaza, terutama di wilayah Zeitoun dan Jabalia, sepanjang Agustus hingga September.
Jalan pantai Al-Rashid dipadati pengungsi yang membawa barang seadanya, namun sebagian warga tetap memilih bertahan.
“Lebih baik mati di sini, menangis di Gaza, daripada harus mengembara di pengasingan,” kata Ahmed Helles, seorang warga yang menolak meninggalkan rumahnya.
Di sisi lain, ratusan ribu warga lainnya terpaksa mengungsi ke selatan, meski banyak yang mengaku tidak tahu harus pergi ke mana.
Krisis pangan memperburuk keadaan. Laporan setempat menyebut 428 orang meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi, terutama di Gaza Utara. Blokade yang membatasi masuknya bantuan membuat stok makanan, obat-obatan, dan air bersih semakin langka.
Rumah sakit di Gaza, termasuk Al-Shifa dan Al-Ahli, kewalahan menampung korban luka. Direktur Shifa Hospital, Dr. Mohamed Abu Selmiya, menyampaikan: “Pemboman tidak berhenti sedetik pun.” Banyak fasilitas medis terpaksa tutup karena kehabisan pasokan listrik, obat, hingga air bersih.
Serangan Israel juga menghantam gudang persediaan medis di Nasser Hospital, Khan Yunis, memperburuk krisis kesehatan di wilayah itu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menilai situasi ini “tidak dapat diterima secara moral, politik, dan hukum.” Komisi independen PBB bahkan menyimpulkan adanya dugaan genosida terhadap warga Palestina di Gaza.
Uni Eropa mengancam akan menjatuhkan sanksi perdagangan kepada Israel jika operasi tidak dihentikan. Dari Washington, Sekretaris Negara Amerika Serikat Marco Rubio mengakui bahwa “waktu untuk mencapai gencatan senjata semakin sempit”, meski pemerintahnya tetap mendukung Israel.
Di tengah gempuran, Hamas meluncurkan operasi tandingan bernama Stones of David yang berisi serangan gerilya dan penyergapan terhadap pasukan Israel.
Meski Israel mengklaim telah menewaskan 20.000 kombatan Hamas, angka itu dibantah oleh kelompok tersebut dan juga oleh sejumlah organisasi HAM.
Upaya diplomasi untuk menghentikan pertempuran belum membuahkan hasil. Hamas mengajukan syarat gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan Israel, namun tawaran itu ditolak oleh pihak Tel Aviv.
Seorang pengungsi, Ismail Zaydah, menggambarkan kondisi warga sipil yang kian terdesak.
“Kami kabur hanya dengan beberapa potong pakaian. Orang-orang mendirikan tenda di bagian barat Kota Gaza, mereka tidur di antara kotoran manusia karena memang tidak ada tempat lain untuk dituju.” ujarnya kepada media lokal.

0Komentar