Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba resmi mundur demi mencegah konflik internal LDP usai kekalahan pemilu dan tekanan politik. (AP)


Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada Minggu (7/9/2025), kurang dari setahun setelah menjabat. Ishiba menyatakan langkah ini diambil untuk mencegah perpecahan internal di Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa, sekaligus setelah berhasil menyelesaikan perjanjian dagang penting dengan Amerika Serikat.

“Dengan tercapainya kesepakatan mengenai tarif AS, saya percaya ini adalah saat yang tepat untuk mundur. Saya ingin menyerahkan tongkat estafet kepada generasi berikutnya,” ujar Ishiba dalam konferensi pers di Tokyo. 

Ia menambahkan, “Saya membuat keputusan yang menyakitkan untuk mundur karena tidak ingin partai terbelah akibat isu pemilihan internal.”

Ishiba akan tetap menjalankan tugasnya hingga penggantinya terpilih. LDP dijadwalkan menggelar pemilihan kepemimpinan darurat pada awal Oktober mendatang.

Pengunduran diri Ishiba terjadi setelah serangkaian kekalahan pemilu yang dialami LDP. Pada Oktober 2024, koalisi yang dipimpinnya kehilangan mayoritas di majelis rendah, disusul kehilangan mayoritas di majelis tinggi pada Juli 2025. Kekalahan tersebut merupakan yang pertama bagi LDP dalam 15 tahun terakhir.

Kemarahan publik atas lonjakan biaya hidup, terutama kenaikan harga beras hingga dua kali lipat dalam setahun, menjadi faktor utama merosotnya dukungan. Selain itu, inflasi tinggi melemahkan daya beli masyarakat dan menurunkan popularitas pemerintah.

Di sisi internal, Ishiba menghadapi tekanan keras dari kelompok konservatif dalam partainya. Sayap kanan LDP menilai kebijakan luar negeri dan ekonomi Ishiba kurang tegas. 

Tekanan itu memuncak ketika kelompok dalam partai berencana menggelar pemilihan darurat untuk memaksanya turun. Ishiba memilih mundur sehari sebelum rencana pemungutan suara itu berlangsung.

Salah satu pencapaian besar Ishiba sebelum mundur adalah perjanjian dagang dengan Amerika Serikat. Kesepakatan itu menurunkan tarif impor mobil Jepang dari 27,5 persen menjadi 15 persen, setelah melalui negosiasi yang panjang. 

Ishiba menyebut perjanjian ini sebagai “rintangan utama” yang harus diselesaikan di bawah tanggung jawab pemerintahannya.

“Saya yakin negosiasi mengenai tarif AS, yang bisa disebut sebagai krisis nasional, harus diselesaikan di bawah pemerintahan kami,” kata Ishiba.

Meskipun dianggap prestasi diplomasi, pencapaian itu tidak cukup untuk meredam ketidakpuasan publik terhadap persoalan ekonomi domestik.

Sejumlah tokoh politik memberikan tanggapan atas keputusan mendadak Ishiba.

Tetsuo Saito dari partai koalisi Komeito menyampaikan apresiasi atas gaya kepemimpinan Ishiba. 

“Perdana Menteri Ishiba secara konsisten mencari kerja sama dari partai oposisi dalam setiap isu politik dan berhasil mendapatkan dukungan mereka. Upaya tersebut patut diapresiasi,” ujarnya.

Dari kubu oposisi, Ketua Partai Demokrat Konstitusional Yoshihiko Noda menilai Ishiba sebenarnya ingin bertahan. 

“Saya percaya niatnya untuk tetap menjabat cukup kuat, tetapi mungkin semua opsi yang tersedia sudah habis,” kata Noda.

Dua nama mencuat sebagai kandidat kuat pengganti Ishiba.

Sanae Takaichi, politisi senior dari LDP yang dikenal konservatif. Ia mendukung kebijakan fiskal ekspansif namun berhati-hati terhadap kenaikan suku bunga.

Shinjiro Koizumi, Menteri Pertanian yang populer dan dianggap wajah muda partai. Koizumi dikenal pro-lingkungan dan liberal dalam isu sosial.

Ekonom Kazutaka Maeda dari Meiji Yasuda Research Institute menilai pengunduran diri Ishiba tidak terelakkan. 

“Dengan tekanan politik yang meningkat setelah LDP mengalami kekalahan beruntun, pengunduran dirinya sudah dapat diperkirakan. Pasar akan mencermati siapa penggantinya, terutama jika Takaichi dengan kebijakan fiskalnya yang ekspansif terpilih,” katanya, seperti dikutip dari Media Jepang NHK.

Pengumuman pengunduran diri Ishiba memicu ketidakpastian di pasar keuangan. Yen dan obligasi pemerintah Jepang mengalami tekanan akibat meningkatnya spekulasi politik.

Di tingkat domestik, kebangkitan partai sayap kanan Sanseito turut menjadi sorotan. Partai nasionalis dan anti-imigrasi itu berhasil meraih 14 kursi di majelis tinggi pada pemilu Juli lalu, menandai pergeseran politik di Jepang.

Secara internasional, perhatian tertuju pada kelanjutan hubungan Jepang–Amerika Serikat pasca perjanjian dagang. Selain itu, pengganti Ishiba akan menghadapi tantangan keamanan regional, termasuk ketegangan dengan China, Rusia, dan Korea Utara.