Langkah DPR memangkas fasilitas dinilai belum menyentuh akar persoalan. Masalah utama ada pada kendali partai politik yang membelenggu parlemen. (Dok. DPR RI)

Gelombang protes publik akhirnya memaksa DPR, partai politik, dan Presiden bergerak cepat. Dalam hitungan hari, parlemen mengumumkan pemangkasan tunjangan, moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, hingga penonaktifan sejumlah anggota. 

Ketua DPR Puan Maharani bahkan menegaskan dirinya akan memimpin langsung reformasi parlemen. 

Namun, Formappi menilai langkah-langkah itu tak lebih dari reaksi spontan untuk meredakan kemarahan publik, bukan jawaban atas akar masalah yang membuat DPR kehilangan wajah sebagai lembaga representasi rakyat.

“Komitmen hingga keputusan dari parpol, DPR, hingga presiden sejauh ini bisa kita kategorikan sebagai langkah reaktif untuk meredakan situasi,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus.

Di balik pemangkasan tunjangan, kritik publik sesungguhnya menyasar pada problem yang jauh lebih mendasar. 

DPR dianggap sudah lama gagal menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sebagaimana mestinya. Semua fungsi itu dikooptasi oleh dominasi partai politik yang membelenggu anggota dewan.

“Tak ada sikap pribadi anggota yang bisa menghalangi keinginan partai di DPR. Jadinya sia-sia saja punya wakil dari berbagai daerah pemilihan, karena keputusan akhir tetap saja hanya ketua parpol,” ujar Lucius.

Sistem politik yang tertuang dalam UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU MD3 justru memperkuat cengkeraman partai atas parlemen. 

Mekanisme recall membuat anggota DPR praktis tak punya daya tawar menghadapi perintah fraksi. Yang berkuasa bukan rakyat yang memilih, melainkan elite partai yang meneken daftar caleg.

Dominasi partai semakin diperparah oleh karakter oligarkis yang enggan berubah. Parpol lebih sibuk mempertahankan kekuasaan ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Rekrutmen politik dikuasai segelintir elite, regenerasi ditutup rapat, sementara kader yang kritis bisa sewaktu-waktu disingkirkan.

“Masalah DPR yang kita kritik belakangan ini sesungguhnya adalah masalah ketidakpedulian parpol pada rakyat dan bangsa. Parpol tak menghendaki perubahan, tak menginginkan anggota DPR yang secara sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat,” tegas Lucius.

Akibatnya, DPR kehilangan makna sebagai lembaga representasi rakyat. Publik hanya bisa menonton dari luar pagar Senayan, sementara kebijakan penting bangsa diputuskan di ruang sempit pengurus partai.

Menjawab kritik, pimpinan DPR mencoba tampil proaktif. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan: “Saya sendiri yang akan memimpin reformasi DPR.” 

Sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menuturkan, pemangkasan fasilitas dan penonaktifan anggota merupakan langkah konkret untuk memperbaiki diri.

“Keputusan ini diambil DPR RI untuk merespons aspirasi masyarakat, memperbaiki diri menjadi lembaga yang inklusif, dan mengembalikan kepercayaan publik,” kata Dasco.

Tapi publik masih meragukan apakah langkah ini akan berlanjut menjadi reformasi substansial, atau sekadar “lip service” politik untuk menenangkan suasana.

Formappi menekankan, jika DPR sungguh ingin berubah, maka reformasi tak bisa berhenti di pemangkasan tunjangan. Revisi menyeluruh atas UU MD3 dan UU Parpol menjadi syarat mutlak agar DPR kembali ke rel sebagai lembaga representasi rakyat.

“UU MD3 harus diubah untuk memperkuat DPR sebagai lembaga representasi rakyat, bukan lembaga mainan parpol,” ucap Lucius.

Penataan ulang fungsi, tugas, dan alat kelengkapan DPR juga diperlukan, dengan membatasi kendali partai atas kerja-kerja parlemen. Selain itu, partai politik wajib ikut bertanggung jawab atas perilaku kadernya, bukan sekadar melempar kesalahan ke individu anggota.

Bagi publik yang beberapa pekan terakhir turun ke jalan, pemangkasan tunjangan hanyalah permulaan yang terlalu kecil dibanding gelombang tuntutan besar: “17+8 Tuntutan Rakyat”. 

Apa yang terjadi di Senayan kini hanyalah ujian pertama apakah DPR berani mengutak-atik akar persoalan, atau memilih nyaman dalam status quo yang sudah lama menyandera demokrasi.

Jika reformasi parlemen hanya diukur dari tunjangan dan kunker, untuk apa kita punya wakil rakyat kalau pada akhirnya yang mereka wakili hanyalah partai?