PM Israel Benjamin Netanyahu menyebut setiap ponsel di dunia mengandung teknologi buatan Israel, di tengah sorotan global atas kontroversi digitalnya. (REUTERS/Debbie Hill)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menyinggung peran negaranya dalam industri teknologi global. Dalam sebuah pernyataan publik pekan lalu, ia mengatakan bahwa “setiap orang yang memiliki ponsel di tangannya, sebenarnya sedang memegang bagian dari Israel.”

Ucapan itu disampaikan Netanyahu di tengah sorotan dunia internasional terhadap kebijakan Israel di Gaza serta kontroversi penggunaan teknologi digital asal Israel.

Sejak lama Israel dikenal sebagai pusat inovasi teknologi. Perusahaan multinasional seperti Intel, AMD, Qualcomm, dan Apple memiliki pusat riset dan pengembangan di negara tersebut. 

Intel sendiri sudah beroperasi di Israel sejak 1974 dan menjadikan Tel Aviv sebagai salah satu basis penting pengembangan prosesor dan kecerdasan buatan.

Produk teknologi buatan Israel juga digunakan secara luas. Aplikasi navigasi Waze memiliki ratusan juta pengguna di seluruh dunia. Inovasi lain seperti USB flash drive dan chip semikonduktor juga lahir dari laboratorium di Israel.

Data Bank Dunia menunjukkan, Israel menempati posisi atas untuk belanja riset dan pengembangan sebagai persentase dari PDB. Negara ini juga mencatat jumlah investasi modal ventura terbesar kedua per kapita setelah Singapura.

Namun, reputasi teknologi Israel juga lekat dengan kontroversi. Perusahaan NSO Group dituding menjual spyware Pegasus kepada pemerintah berbagai negara. 

Laporan konsorsium media internasional Pegasus Project pada 2021 menemukan ribuan nomor telepon yang menjadi target, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan sejumlah jurnalis Al Jazeera.

Pemerintah Amerika Serikat pada November 2021 membatasi akses NSO dengan menyebut produknya sebagai “alat penindasan transnasional.” NSO sendiri berulang kali menegaskan perangkat lunaknya hanya ditujukan untuk memerangi terorisme dan kriminalitas.

Selain itu, Israel juga dituduh menggunakan kecerdasan buatan dalam operasi militer. Dalam konflik Gaza 2021, militer Israel mengoperasikan sistem Fire Factory untuk menganalisis target serangan udara.

Pada September 2024, serangan cyber Israel terhadap jaringan komunikasi Hizbullah di Lebanon mengakibatkan ribuan orang terluka akibat ledakan perangkat pager dan ponsel genggam.

Pernyataan Netanyahu muncul di tengah meningkatnya kritik internasional terhadap kebijakan Israel di Gaza. Menurut data otoritas kesehatan Palestina, hingga September 2025 tercatat lebih dari 64 ribu warga sipil tewas akibat operasi militer di wilayah tersebut.

Oposisi dalam negeri juga menyoroti dampak politik dari situasi ini. Ketua oposisi Yair Lapid mengatakan, “Isolasi bukanlah takdir, melainkan akibat kebijakan pemerintah yang salah.”

Netanyahu menolak kritik tersebut dan menuding minoritas Muslim di Eropa serta “revolusi digital” Tiongkok-Qatar sebagai faktor yang memperkuat isolasi politik Israel.

Sejumlah pengamat menilai ada paradoks dalam perkembangan teknologi Israel. Di satu sisi, ilmuwan seperti Dan Shechtman dan Aaron Ciechanover meraih Nobel berkat temuan ilmiah mereka. Di sisi lain, spyware seperti Pegasus dan Paragon menuai kecaman karena dianggap mengancam privasi global.

Pada KTT Regulasi AI Militer (REAIM), 60 negara menyerukan pengawasan ketat atas penggunaan kecerdasan buatan dalam perang. Israel tidak ikut menandatangani deklarasi tersebut.

“Alat-alat ini dirancang untuk rezim otoriter, bukan demokrasi,” ujar John Scott-Railton dari Citizen Lab, lembaga riset independen yang berbasis di Kanada.