Amien Rais menuding narasi demonstrasi yang awalnya menuntut bubarkan DPR bergeser menjadi “gulingkan Prabowo”. Ia menyebut ada peran geng Solo dan dugaan pendanaan besar di balik aksi ricuh. (Tempo.co)


Rangkaian demonstrasi yang berujung ricuh di Jakarta dan sejumlah kota besar Indonesia pada 25–31 Agustus 2025 kini memasuki babak baru. Ketua Majelis Syura Partai Ummat, Amien Rais, menuding mantan Presiden Joko Widodo sebagai dalang sekaligus pendana aksi yang belakangan berubah menjadi seruan “Gulingkan Presiden Prabowo Subianto.”

Klaim tersebut dilontarkan Amien dalam pernyataan resminya, Senin (1/9), sehari setelah aparat mengumumkan penetapan 43 tersangka terkait kerusuhan. Polisi menyebut sebagian besar tersangka berasal dari kalangan pelajar yang terlibat setelah menerima iming-iming uang.

Menurut catatan berbagai kelompok masyarakat sipil, aksi demonstrasi sejatinya digagas mahasiswa, buruh, dan komunitas ojek daring untuk menekan DPR RI agar dibubarkan. 

Tuntutan itu dipicu protes atas gaji anggota parlemen yang dianggap tidak sebanding dengan kinerja serta kemarahan publik atas tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, dalam bentrok dengan polisi di Jakarta.

Namun, Amien Rais menilai arah demonstrasi berubah secara drastis ketika slogan baru menyeruak: “Gulingkan Prabowo.” Ia menduga ada penyusup yang terlatih secara militer maupun kepolisian yang membelokkan tujuan aksi.

“Demo yang awalnya masuk akal dan membanggakan, kemudian berbelok jadi slogan menjatuhkan Presiden. Itu bukan murni dari mahasiswa atau rakyat, ada yang membiayai dan menyusun strateginya,” kata Amien.

Ia bahkan secara terang-terangan menuding Jokowi. 

“Kalau kita bertanya siapa penggerak dan pendana demonstrasi di berbagai kota besar itu? Jawaban yang paling masuk akal adalah geng Solo pimpinan Joko Widodo,” ujarnya.

Dalam pernyataannya, Amien menyebut ada empat lapisan aktor di balik demonstrasi yaitu pemberi dana, penyusun strategi, pelaksana lapangan, dan pengarah tujuan akhir. Ia mengeklaim ribuan orang disusupkan ke barisan massa dengan dana yang “cukup besar.”

Menurutnya, slogan asli seperti “Libas Para Koruptor” atau “Bubarkan DPR” sengaja dipelintir menjadi “Gulingkan Prabowo” untuk melemahkan pemerintahan baru.

Sementara itu, polisi menemukan adanya pembayaran bagi pelajar untuk ikut aksi.

“Ada indikasi anak diberi kompensasi atau upah untuk melakukan aksi. Itu jadi salah satu data awal untuk mengungkap jaringan ini,” ujar AKBP Putu dari Polda Metro Jaya.

Besaran upah yang ditawarkan bervariasi antara Rp62.500 hingga Rp200.000. Ajakan ikut demo disebarkan melalui grup WhatsApp dan akun media sosial, sebagian diiringi tutorial pembuatan molotov.

Polda Metro Jaya mencatat lebih dari 1.000 orang ditangkap selama kerusuhan. Dari jumlah itu, 43 orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk enam provokator yang diduga berperan aktif mengarahkan massa. Polisi juga menemukan 22 orang positif narkoba.

Beberapa nama yang disebut publik antara lain Delpedro Marhaen dari Lokataru Foundation serta seorang admin akun media sosial @gejayanmemanggil, yang dituduh menyebarkan ajakan demonstrasi.

“Ini pola terorganisir. Ada yang membiayai, ada yang menggerakkan di media sosial, lalu pelajar dijadikan eksekutor lapangan,” kata seorang pejabat kepolisian yang enggan disebutkan namanya.

Meski aparat menekankan aspek keamanan, langkah kepolisian menuai kritik. Amnesty International menilai penangkapan massal terhadap pelajar dan aktivis melanggar hak berpendapat.

“Demonstrasi adalah hak konstitusional. Mengajak unjuk rasa, termasuk terhadap anak, dibolehkan. Negara justru wajib melindungi mereka,” ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia.

Sejumlah akademisi turut bersuara. Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menegaskan tindakan represif justru bisa memperburuk krisis kepercayaan publik. 

“Kalau polisi main tangkap tanpa prosedur, itu bukan penegakan hukum, tapi pelecehan hukum,” katanya.

Mantan Kapolda Jawa Barat, Susno Duadji, juga menilai ada banyak kejanggalan. “Kalau benar ada dalang, ungkap siapa. Jangan hanya berhenti di pelajar atau admin media sosial. Itu terlalu kecil,” ujarnya.

Menurut catatan YLBHI, sepanjang enam hari demonstrasi, lebih dari 3.000 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka, dan tujuh orang dilaporkan hilang. Beberapa fasilitas umum ikut dibakar, termasuk halte bus dan kantor polisi di Jakarta Pusat.

Kerusuhan paling parah terjadi pada 29 Agustus ketika bentrokan pecah di sekitar kawasan Senayan. Gas air mata ditembakkan, massa membalas dengan bom molotov, dan sejumlah kendaraan dinas hangus terbakar.

Seorang saksi mata, Rina (22), mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, menuturkan suasana mencekam. “Awalnya tenang, orasi mahasiswa soal DPR. Tapi tiba-tiba ada yang teriak gulingkan presiden, terus mulai ada lemparan batu. Semua kacau, kami lari sambil batuk-batuk kena gas air mata,” katanya.

Tuduhan Amien Rais terhadap Jokowi mempertegas ketegangan antara kubu Prabowo dan loyalis mantan presiden itu. Amien mendesak Prabowo segera membersihkan kabinet dari figur-figur yang dianggap “orang Jokowi.”

Sementara pihak Istana belum memberikan tanggapan resmi. Beberapa politisi pendukung Jokowi membantah tuduhan Amien. “Itu fitnah tanpa bukti. Jangan gampang menyalahkan,” ujar seorang mantan menteri yang kini duduk di DPR.

Bagi sejumlah analis, pergeseran arah demo menunjukkan rapuhnya konsolidasi politik di awal pemerintahan Prabowo. Ferry Irwandi, seorang aktivis sekaligus pengamat politik, mengatakan, “Ini bukan intervensi asing, tapi permainan elite dalam negeri. Yang jadi korban tetap rakyat kecil.”