Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 memberi skor 37 untuk Indonesia. Kenaikan tipis ini menegaskan korupsi tetap lebih kuat dari reformasi. (Apluswire/Hra)

Dua puluh enam tahun setelah reformasi 1998, satu kenyataan pahit tetap bertahan. Demokrasi boleh berwajah baru, presiden sudah berganti beberapa kali, undang-undang diperbarui berkali-kali, tapi korupsi tidak pernah benar-benar pergi. Bahkan, ia seakan-akan lebih tangguh dari reformasi itu sendiri.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 kembali mengingatkan kita pada kenyataan tersebut. Transparency International memberi Indonesia skor 37 dari 100, menempatkan negeri ini di peringkat 99 dari 180 negara, dan hanya urutan keenam terburuk di Asia Tenggara. 

Singapura, Brunei, Malaysia, dan bahkan Vietnam sudah jauh lebih bersih, sementara kita masih berputar di kubangan yang sama dengan Thailand, Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

Tentu pemerintah mencoba menyiram kabar buruk ini dengan sedikit gula. Skor 37 dianggap pencapaian karena naik tiga poin dari tahun 2023. KPK pun menyebutnya bukti bahwa penegakan hukum berjalan. 

Namun sebagian analis mengingatkan, kenaikan ini lebih karena perubahan metodologi penilaian TI ketimbang perbaikan substansial. Kalau hitungannya pakai indikator lama, skor kita hampir stagnan. Jadi pertanyaannya bukan apakah kita lebih bersih, tapi apakah cara hitungnya yang lebih ramah.

Korupsi Indonesia ibarat penyakit kronis yang kebal obat. Transparency International menunjukkan titik rawannya ada di pelayanan publik dan peradilan. Ironis, karena keduanya seharusnya menjadi etalase reformasi.

Pelayanan publik kita masih dikeluhkan karena pungutan liar, dari sekadar mengurus KTP sampai izin usaha. Di pengadilan, keadilan sering terasa bisa dinegosiasikan dengan tarif tertentu. Dua sektor yang mestinya melayani rakyat malah menempatkan warga di posisi paling lemah. 

Reformasi birokrasi yang digadang-gadang sejak awal 2000-an ternyata lebih banyak berhenti pada slogan.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, menyebutkan selama kompromi masih menjadi nafas politik dan birokrasi, korupsi akan selalu menemukan jalan. Benar saja, dari DPR hingga daerah, kompromi politik kerap menjadi pintu masuk praktik korupsi. 

Regulasi dibuat lentur untuk memberi ruang tawar, anggaran diubah dengan cepat sesuai deal, proyek ditentukan pemenangnya bahkan sebelum tender dibuka.

Inilah ironi reformasi. Demokrasi elektoral memang berjalan, tapi biayanya mahal. Partai butuh dana, kandidat butuh sponsor, pejabat butuh modal politik. Ujungnya, ruang kompromi melebar, dan korupsi bukan lagi kecelakaan, melainkan sistem. Jika reformasi dimaksudkan untuk membangun demokrasi bersih, yang terjadi justru demokrasi transaksional yang memelihara korupsi.

KPK kerap tampil gagah dengan operasi tangkap tangan. Menteri, gubernur, hakim, bahkan pimpinan partai sudah pernah digelandang. Namun skor CPI kita tetap jalan di tempat, di kisaran 30-an.

Korupsi di Indonesia tumbuh seperti gulma. Dicabut satu, tumbuh dua. Diciduk satu pejabat, muncul pejabat lain dengan modus baru. Penindakan penting, tetapi jelas tidak cukup. 

Reformasi sejati menuntut sistem pengawasan yang ketat, peradilan independen, kontrak publik yang transparan, dan birokrasi yang insentifnya dirancang untuk melayani, bukan memeras.

Sayangnya, upaya ke arah itu sering kandas di meja politik. Revisi undang-undang KPK beberapa tahun lalu menjadi contoh bagaimana elite lebih sibuk membatasi lembaga antikorupsi daripada memperkuatnya. Inilah alasan mengapa korupsi terlihat lebih tangguh daripada reformasi.

Sebagian orang berargumen, meski korupsi masih tinggi, investasi asing tetap masuk, pertumbuhan ekonomi tetap positif. Bukankah ini tanda masalahnya tidak separah itu

Ini logika yang menyesatkan. Benar, investor tetap datang karena pasar Indonesia besar dan konsumennya melimpah. Tapi bukan berarti mereka nyaman. 

Banyak perusahaan memasukkan biaya suap dan pungli ke dalam ongkos produksi. Jangka pendek mereka masih untung, jangka panjang negara yang membiarkan praktik ini akan kalah bersaing.

Korupsi menciptakan biaya tak terlihat yang menekan inovasi, melemahkan pelaku usaha kecil, dan paling membebani masyarakat miskin. Jadi investasi yang masuk bukan bukti kita sehat, melainkan bukti pasar kita besar meski sakit. Seperti rumah bocor yang tetap ditempati karena lokasinya strategis, tapi lambat laun kayunya lapuk dimakan rayap.

Sejak awal reformasi, skor CPI Indonesia tidak pernah benar-benar melesat. Kita naik sedikit di tahun-tahun awal KPK berjaya, lalu stagnan, bahkan sempat turun. Polanya konsisten dua dekade terakhir. 

Korupsi selalu bisa menyesuaikan diri dengan rezim baru. Reformasi politik menghasilkan demokrasi prosedural, tapi tidak otomatis menghasilkan integritas.

Jika begitu, mengapa kita kaget ketika skor CPI 2024 hanya 37? Itu sebenarnya cerminan jujur dari reformasi kita sendiri. Janjinya gemilang, tapi pelaksanaannya penuh kompromi. Retorikanya keras, tapi prakteknya lunak. Dan publik diminta puas dengan bedak statistik yang menutupi borok korupsi.

Kalau kita serius ingin reformasi lebih tangguh daripada korupsi, maka langkahnya harus menyentuh akar

1. Perkuat KPK dengan independensi hukum yang tak bisa diganggu politik

2. Buka transparansi penuh dalam setiap pengadaan publik, dari kontrak hingga pemenang tender

3. Reformasi peradilan dengan rekrutmen terbuka, pengawasan independen, dan perlindungan bagi hakim bersih

4. Ubah insentif birokrasi agar kinerja diukur dari kualitas pelayanan, bukan sekadar kecepatan menghabiskan anggaran


Tugas ini memang berat, tapi tanpa itu, reformasi hanya jadi ornamen demokrasi, sementara korupsi tetap jadi mesin utama yang menggerakkan politik dan birokrasi.

CPI 2024 memberi kita skor 37. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa reformasi kita kalah tangguh dibanding korupsi. Dua dekade lebih, demokrasi berubah wajah, tapi praktik korupsi tetap berakar.

Selama kita sibuk merayakan kenaikan tiga poin seolah prestasi, korupsi akan terus tertawa di balik layar. Dan sampai hari itu berhenti, sejarah akan terus mencatat satu ironi getir Reformasi kalah, korupsi menang.