![]() |
| Pemerintah usulkan penghapusan kategori beras premium dan medium. Hanya ada beras reguler, menunggu keputusan Presiden Prabowo. (Dok. Humas Setkab/Agung) |
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan mengusulkan penghapusan kategori beras premium dan medium, sehingga hanya ada satu klasifikasi di pasar yaitu beras reguler. Usulan ini sudah dibahas di Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan tengah menunggu persetujuan Presiden Prabowo Subianto sebelum bisa diterapkan.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menuturkan, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan tata niaga sekaligus mengatasi praktik pengoplosan beras yang marak dilakukan sebagian produsen.
“Ini soal ketertiban pasar. Kalau hanya ada beras reguler, tidak ada lagi alasan untuk mencampur beras kualitas rendah lalu dijual sebagai premium,” ujar Zulkifli saat ditemui di Jakarta, Jumat (6/9).
Sejak 2023, beras di Indonesia dikategorikan menjadi premium dan medium, masing-masing dengan standar mutu dan harga eceran tertinggi (HET) berbeda. Premium ditujukan bagi konsumen yang mencari kualitas tinggi dengan harga lebih mahal, sedangkan medium dianggap lebih terjangkau bagi mayoritas rumah tangga.
Namun, klasifikasi ini kerap dimanfaatkan oknum penggilingan dan pedagang. Beras medium dioplos dengan butiran premium lalu dijual penuh sebagai beras premium. Bagi konsumen, membedakan keduanya nyaris mustahil karena tampilan fisik serupa.
Menurut Bapanas, penyederhanaan kategori menjadi beras reguler dan beras khusus (seperti ketan, organik, atau beras merah) akan memudahkan pengawasan. Parameter mutu baru dirancang lebih ketat, dengan kadar air maksimal 14% dan butir patah dibatasi 15–25%.
Hingga kini, rancangan aturan tersebut masih menunggu lampu hijau dari Presiden. Jika disetujui, pemerintah harus merevisi dua regulasi utama: Peraturan Bapanas Nomor 2 Tahun 2023 tentang Klasifikasi Mutu Beras dan Peraturan Bapanas Nomor 5 Tahun 2024 tentang HET.
“Sudah dibahas teknisnya di rakor. Tinggal satu rapat terbatas lagi sebelum diserahkan ke Presiden. Semua kementerian terkait sudah menyampaikan pandangan,” ungkap seoarang pejabat Bapanas.
Pemerintah memperkirakan keputusan bisa keluar dalam satu hingga dua bulan mendatang.
Salah satu titik krusial adalah penetapan HET untuk beras reguler. Saat ini, HET medium berkisar Rp12.500–13.500 per kilogram tergantung zona, sedangkan premium mencapai Rp14.900–15.800.
Dalam draf usulan, HET beras reguler diperkirakan berada di tengah-tengah. Zona 1 (Jawa dan Lampung) diusulkan Rp13.500, zona 2 (Sumatra Utara, Kalimantan) Rp14.000, dan zona 3 (Maluku, Papua) Rp15.500. Angka ini lebih tinggi dibanding medium, tapi lebih rendah dari premium.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai kebijakan ini berisiko.
“Kalau harga reguler ditarik ke tengah, masyarakat miskin yang terbiasa membeli beras medium bisa tertekan. Kenaikan harga 10% saja bisa menaikkan angka kemiskinan sekitar 1%,” katanya.
Di tingkat produksi, rencana ini menghadapi tantangan lain. Indonesia memiliki lebih dari 180 ribu penggilingan padi, dan 90% di antaranya tergolong kecil. Sebagian besar tidak memiliki teknologi memadai untuk menghasilkan beras sesuai standar mutu baru, misalnya menjaga butir patah di bawah 15%.
“Kalau standarnya terlalu tinggi, penggilingan kecil bisa tersingkir. Ini bukan hanya soal konsumen, tapi juga soal keberlanjutan usaha rakyat kecil,” ujar Sutrisno, Ketua Asosiasi Penggilingan Padi Kecil di Jawa Tengah.
Petani pun tidak selalu bisa menanam varietas sesuai selera pasar. Pemerintah selama ini belum memberi insentif yang cukup agar produksi terarah ke kualitas tertentu.
Kasus pengoplosan beras bukan sekadar wacana. Baru-baru ini, Satgas Pangan Polri menetapkan tiga tersangka dari PT FS, sebuah perusahaan penggilingan, karena mencampur beras subsidi SPHP dengan beras komersial lalu menjualnya sebagai premium. Ancaman hukuman yang dijerat mencapai 20 tahun penjara.
“Kalau aturan baru diberlakukan, kami akan lebih mudah menindak. Karena jelas hanya ada satu standar beras reguler, sisanya beras khusus. Tidak ada lagi ruang abu-abu,” kata Brigjen Whisnu Hermawan, Kepala Satgas Pangan Polri.
Meski pemerintah menyebut penyederhanaan kategori sebagai solusi, sejumlah akademisi menilai langkah ini hanya mengatasi gejala, bukan akar masalah.
“Masalah beras kita bukan di klasifikasi. Akar persoalannya adalah pasokan dan distribusi yang amburadul. Selama stok di Bulog tidak stabil dan distribusi terganggu, harga tetap kacau, mau ada satu kategori atau sepuluh kategori.” ujar Dwi Andreas, Guru Besar Ekonomi Pertanian IPB.
Ia menambahkan, kebijakan ini berpotensi menghapus pilihan konsumen kelas menengah ke atas yang terbiasa membeli beras premium dengan kualitas lebih baik.
Dalam beberapa pekan ke depan, Bapanas dijadwalkan menggelar rapat koordinasi terbatas terakhir sebelum menyerahkan laporan ke Presiden. Keputusan eksekutif akan menentukan apakah konsumen Indonesia ke depan hanya mengenal “beras reguler” tanpa embel-embel premium maupun medium.
Sementara itu, di pasar-pasar tradisional, pedagang masih menunggu kepastian.
“Kalau jadi, ya kita ikut saja. Tapi jangan sampai nanti harga malah bikin orang susah. Pembeli sudah berat sekarang,” ujar Nuraini, pedagang beras di Pasar Induk Cipinang, sambil menunjukkan tumpukan karung beras medium yang menurutnya “masih laku keras.”
Kebijakan ini, singkatnya, bisa menjadi jalan keluar atau justru menambah masalah baru. Semua bergantung pada seberapa hati-hati pemerintah merumuskan aturan teknis dan seberapa cepat Presiden mengambil keputusan.

0Komentar