Mesir memperingatkan Israel untuk tidak melanggar wilayahnya setelah serangan Israel di Doha, Qatar, yang menewaskan enam orang. Ketegangan meningkat dengan dukungan Yordania dan UEA terhadap sikap Mesir. (Anadolu Agency)

Mesir memperingatkan Amerika Serikat (AS) mengenai “konsekuensi serius” jika Israel melakukan serangan di wilayah Mesir. Peringatan itu muncul setelah serangan rudal Israel menghantam Doha, Qatar, pada Selasa (9/9/2025), menewaskan enam orang termasuk lima anggota Hamas dan seorang petugas keamanan Qatar.

Seorang pejabat Mesir, dikutip media Amerika, menyebut bahwa pesan tegas telah dikirimkan ke Washington. 

Kairo menolak keras setiap kemungkinan operasi militer Israel yang melewati perbatasannya, terlebih setelah pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu soal Perlintasan Rafah.

Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan, “Mesir tidak akan terlibat dalam pengusiran rakyat Palestina dan tidak akan membiarkan tanahnya digunakan sebagai jalur untuk melemahkan perjuangan Palestina.”

Selain itu, Kairo memperingatkan bahwa agresi Israel di wilayah Mesir “akan memiliki konsekuensi serius” tidak hanya bagi hubungan bilateral dengan AS, tetapi juga terhadap stabilitas kawasan.

Israel mengklaim serangan rudal ke Doha sebagai upaya menargetkan anggota biro politik Hamas. Namun, meski lima anggota Hamas tewas, para pemimpin senior organisasi itu dilaporkan selamat. Seorang petugas keamanan Qatar ikut menjadi korban.

Serangan yang dilakukan Israel pada 9 September itu disebut sebagai respons atas penembakan di Yerusalem sehari sebelumnya, yang menewaskan enam orang, serta lanjutan dari konflik panjang pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Qatar menggelar pemakaman pada Kamis (11/9/2025) untuk para korban, yang dihadiri langsung Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani. Peristiwa ini menambah ketegangan diplomatik, terutama karena Doha selama ini menjadi mediator dalam upaya gencatan senjata di Gaza dengan dukungan AS.

Kontroversi semakin memanas setelah Netanyahu, dalam wawancara dengan saluran Telegram Abu Ali Express, menyebut soal pembukaan Perlintasan Rafah untuk memungkinkan warga Palestina meninggalkan Gaza. Ucapannya memicu kemarahan besar di Mesir.

Media Israel Mekomet melaporkan bahwa konflik terbuka antara Israel dan Mesir kini dianggap hanya masalah waktu. Sentimen publik di Mesir disebut makin mendukung opsi konfrontasi jika kedaulatan negara mereka dilanggar.

Mesir sendiri menolak keras setiap ide pemindahan paksa warga Palestina. Kementerian Luar Negeri menilai langkah semacam itu akan menjadi pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional sekaligus bentuk pembersihan etnis.

Sikap Mesir mendapat dukungan dari Yordania dan Uni Emirat Arab (UEA). Kedua negara menyampaikan kekhawatiran bahwa wacana pemindahan paksa rakyat Palestina bisa menjadi cara untuk “memaksakan realitas baru” di kawasan.

Yordania menegaskan bahwa solusi permanen tidak bisa dibangun di atas pengusiran rakyat dari tanahnya sendiri, sementara UEA menyoroti risiko semakin rusaknya tatanan keamanan regional jika kebijakan seperti itu terus didorong.

Serangan Israel ke Doha diyakini memperburuk peluang gencatan senjata di Gaza yang sebelumnya digagas dengan mediasi AS. Langkah itu juga membuat Washington berada dalam posisi sulit, mengingat Mesir dan Qatar adalah mitra strategis pentingnya di kawasan.