![]() |
| Larangan menyapu malam hari masih dipercaya sebagian masyarakat sebagai pantangan yang membawa sial. Pandangan budaya dan kesehatan memberi tafsir berbeda. (Pixabay) |
Larangan menyapu pada malam hari masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Kepercayaan ini menganggap bahwa aktivitas membersihkan rumah setelah matahari terbenam bisa mengusir rezeki dan membawa kesialan.
Fenomena ini kembali menjadi pembahasan publik sepanjang tahun 2025, khususnya di Jawa dan Sumatra, setelah sejumlah lembaga adat dan pakar kesehatan mengeluarkan pandangan berbeda terkait praktik tersebut.
Mitos larangan menyapu malam hari diyakini turun-temurun sejak masa leluhur. Di banyak desa, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian wilayah Sumatra, masyarakat masih mematuhi larangan ini sebagai bentuk penghormatan pada ajaran orang tua.
Aktivitas membersihkan rumah biasanya dilakukan pagi atau siang, sementara malam dianggap bukan waktu yang tepat.
Menurut kepercayaan, malam hari adalah saat energi gaib lebih kuat. Menyapu dianggap bisa “membuang” rezeki keluar rumah, sehingga keluarga akan kesulitan mendapat keberuntungan. Mitos ini juga sering dikaitkan dengan keyakinan bahwa roh halus berkeliaran pada malam hari, dan aktivitas menyapu bisa mengganggu mereka.
Ibu Sari Dewi, seorang budayawan dari Yogyakarta, menuturkan bahwa larangan tersebut tidak semata berkaitan dengan hal mistis.
“Tradisi ini adalah cara leluhur mengajarkan kita agar tidak melakukan aktivitas berlebih di malam hari, menjaga diri dari kelelahan, dan memberi kesempatan untuk beristirahat,” ujarnya.
Kronologi Diskusi Publik 2025
Isu larangan menyapu malam kembali mencuat pada awal 2025 ketika sejumlah komunitas budaya di Yogyakarta dan Solo menggelar diskusi publik mengenai peran mitos dalam kehidupan modern. Beberapa tokoh adat menekankan pentingnya menjaga tradisi agar tidak hilang ditelan zaman.
Pada bulan Mei 2025, Badan Kebersihan Kota Medan melakukan survei kecil mengenai kebiasaan warga dalam menjaga kebersihan rumah. Hasilnya menunjukkan bahwa 36 persen responden masih menghindari menyapu malam hari karena alasan tradisi. Data ini memicu perdebatan di media sosial, terutama di kalangan anak muda perkotaan yang menilai larangan tersebut tidak lagi relevan.
Diskusi semakin luas ketika sejumlah pakar kesehatan ikut memberi pandangan. Mereka menyoroti dampak kebiasaan itu terhadap kebersihan rumah dan kesehatan pernapasan. Dari situ, pembahasan soal larangan menyapu malam menjadi salah satu isu budaya yang ramai diperbincangkan hingga pertengahan 2025.
Perspektif Kesehatan dan Kebersihan
Dr. Ahmad Rizal, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, menyatakan tidak ada alasan medis yang melarang seseorang menyapu malam hari.
“Secara ilmiah, larangan itu tidak berdasar. Namun, kita harus memahami bahwa aktivitas berat di malam hari bisa mengganggu kualitas tidur. Jadi mitos ini sebenarnya menyimpan pesan rasional soal pengaturan waktu aktivitas,” katanya.
Meski begitu, Dr. Rizal menekankan pentingnya menjaga kebersihan rumah secara konsisten. Menurutnya, menunda membersihkan rumah karena alasan mitos dapat menumpuk debu, yang pada akhirnya memicu masalah kesehatan.
“Lingkungan yang kotor meningkatkan risiko alergi, asma, dan penyakit saluran pernapasan. Jadi yang paling penting adalah keteraturan, bukan waktu kapan menyapunya,” tambahnya.
Di tingkat warga, praktik larangan menyapu malam masih dijalankan dengan taat di sejumlah daerah. Bapak Jaya, warga Desa Cibuntu, Jawa Barat, menuturkan bahwa keluarganya sudah lama menjalankan tradisi tersebut.
“Kami percaya kalau menyapu malam bisa bikin rezeki kabur. Orang tua kami dulu selalu mengingatkan, jadi sampai sekarang kami tetap ikuti. Malam itu waktu untuk istirahat, bukan bersih-bersih,” ungkapnya.
Namun, tidak semua masyarakat berpegang pada tradisi itu. Sejumlah warga perkotaan, khususnya generasi muda, mengaku lebih memilih pendekatan praktis. Mereka menilai membersihkan rumah bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan.
“Kalau rumah kotor ya saya bersihkan, meski malam. Yang penting sehat,” kata Rani, mahasiswa asal Jakarta, dalam sebuah forum diskusi daring pada Juli 2025.
Tanggapan Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah juga menanggapi fenomena ini. Kepala Dinas Kebersihan Kota Bandung, Ibu Rina Setyarini, menuturkan pihaknya tidak melarang masyarakat untuk tetap memegang tradisi, tetapi mengingatkan agar kebersihan rumah tetap terjaga.
“Kami memberi ruang bagi masyarakat menjalankan budaya lokal. Tapi imbauan kami jelas: kebersihan rumah adalah bagian dari kesehatan keluarga. Itu harus dijaga kapan pun waktunya,” ujarnya.
Pemerintah daerah di sejumlah kota besar juga mulai melakukan pendekatan edukasi. Kampanye kebersihan rumah digencarkan dengan menekankan pentingnya lingkungan sehat, tanpa bermaksud menyinggung kepercayaan lokal. Pendekatan ini dilakukan agar tidak menimbulkan konflik budaya di masyarakat.
Dampak pada Kehidupan Sehari-hari
Larangan menyapu malam hari ternyata membawa dampak berlapis. Di satu sisi, tradisi ini memperlihatkan kuatnya ikatan masyarakat terhadap warisan leluhur, sehingga menciptakan rasa kebersamaan dalam menjalankan norma sosial. Di sisi lain, larangan ini juga memengaruhi pola kebersihan rumah tangga.
Hasil pengamatan lapangan yang dilakukan beberapa komunitas lingkungan di Bandung dan Semarang pada Juni 2025 menunjukkan bahwa rumah yang tidak dibersihkan malam hari cenderung mengalami penumpukan debu keesokan harinya. Hal ini bisa memicu ketidaknyamanan, terutama bagi keluarga dengan anak kecil atau anggota yang memiliki gangguan pernapasan.
Meski demikian, banyak keluarga tetap memilih mengikuti larangan dengan alasan kenyamanan psikologis. Mereka percaya dengan menjaga tradisi, kehidupan rumah tangga terasa lebih tenteram. Sementara itu, kelompok lain menganggap membersihkan rumah di malam hari tidak membawa dampak negatif, selama tetap menjaga waktu istirahat.

0Komentar