![]() |
| Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib sudah lebih dari dua dekade berlalu, namun hingga kini Komnas HAM belum juga menuntaskannya. (Ist) |
Dua puluh satu tahun telah berlalu sejak aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib meninggal secara tragis dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. Penyebab kematiannya bukan penyakit, melainkan racun arsenik yang disuntikkan secara sistematis, menandai salah satu kasus pembunuhan paling mencengangkan dalam sejarah Indonesia modern.
Meski fakta forensik sudah terang benderang dan pelaku lapangan pernah dijatuhi hukuman, aktor intelektual pembunuhan Munir masih misterius.
Hingga September 2025, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tampak terseret dalam labirin birokrasi, politik, dan ketakutan institusional, sementara keluarga dan pegiat HAM terus mendesak agar kasus ini dituntaskan.
Peringatan 21 tahun dan desakan KASUM
Pada 7 September 2025, para pegiat HAM yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) memperingati 21 tahun kematian Munir. Mereka tidak hanya mengenang jasa sang aktivis, tetapi juga mendesak pemerintah membuka kembali penyelidikan kasus.
“Negara telah membuang waktu begitu lama sehingga kasus Munir berumur 21 tahun. Padahal ini menyangkut kejahatan serius yang merusak keadilan,” kata Ketua KASUM, Usman Hamid.
Istri mendiang Munir, Suciwati, hadir dalam peringatan tersebut dan menegaskan Komnas HAM harus berani memanggil semua pihak yang diduga terlibat.
“Apakah Komnas HAM sudah tidak bergigi lagi ketika memanggil orang-orang itu sehingga mereka mengacuhkannya?” ujar Suciwati dengan nada tegas.
Pernyataan ini menekankan ketidakpuasan keluarga Munir terhadap lambannya proses hukum dan kesan lembaga negara yang pasif.
Selain itu, KASUM menilai pengusutan ulang kematian Munir juga penting untuk menegakkan simbol negara yang serius menghapus praktik impunitas.
“Kasus ini penting untuk membersihkan negara dari orang-orang jahat dan membersihkan BIN dari orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan,” kata Usman, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Komnas HAM di persimpangan
Komnas HAM mengakui telah melakukan penyelidikan ulang. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebut lembaganya telah memeriksa 18 saksi dan mengumpulkan berbagai dokumen, termasuk berita acara pemeriksaan (BAP). Meski begitu, lembaga ini menghadapi kesulitan besar, terutama dalam menghadirkan saksi-saksi penting yang masih enggan atau takut memberikan keterangan.
“Tim penyelidik masih dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam proses menghadirkan para saksi untuk dimintai keterangannya,” kata Anis.
Ia bahkan menambahkan kesiapannya mundur jika hingga 8 Desember 2025 Komnas HAM tidak mampu menuntaskan kasus ini, menegaskan keseriusan sekaligus frustasi lembaga dalam menghadapi hambatan struktural dan politik.
Permintaan pegiat HAM untuk membuka ulang penyelidikan tidak lepas dari fakta bahwa aktor intelektual pembunuhan Munir masih bebas. Hingga kini, hanya tiga orang yang dijatuhi hukuman, semuanya berasal dari maskapai Garuda Indonesia dan disebut aktor lapangan. Sementara itu, mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwoprandjono, lolos dari jerat hukum, menambah kontroversi dan keraguan publik.
Operasi rahasia dan pelanggaran HAM berat
Menurut Usman Hamid, pembunuhan Munir tergolong kejahatan luar biasa, direncanakan melalui operasi rahasia yang melibatkan institusi negara.
“Petinggi intelijen tak hanya menyalahgunakan badan intelijen, tapi juga maskapai penerbangan milik negara. Ini jelas pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Kasus Munir menunjukkan kompleksitas modus operandi, di mana lembaga negara seharusnya melindungi warga justru dipakai untuk membunuh seorang pembela HAM. Dugaan keterlibatan elit politik yang ingin mengubur kasus ini membuat pengungkapan kebenaran menjadi lebih sulit.
Laporan Tempo pada November 2024 mengungkap bahwa sejumlah elit DPR meminta Komnas HAM menunda penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat untuk menghindari kegaduhan pada 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Ada segelintir elite politik yang berperan aktif mengubur dalam-dalam kasus ini. Dan mayoritas elite negara memilih diam, takut dan enggan menyingkap tabir sesungguhnya,” kata Usman.
Hambatan teknis dan strategi penyelidikan
Komnas HAM mengakui sejumlah kendala teknis yang menghambat penyelidikan. Saksi sulit dipanggil karena sebagian telah berpindah, lupa detail, atau takut terhadap keselamatan diri. Perlindungan saksi yang masih lemah di Indonesia memperburuk situasi ini.
Selain itu, bukti fisik dan dokumen penting sudah menipis atau hilang. Padahal untuk menetapkan kasus sebagai pelanggaran HAM berat, bukti harus menunjukkan bahwa kejahatan dilakukan secara sistematis atau meluas. Hambatan ini membuat proses penyelidikan semakin lamban, meski lembaga berupaya mengumpulkan data sebanyak mungkin.
Komnas HAM juga menghadapi perdebatan internal mengenai apakah kasus Munir bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Beberapa komisioner berargumen bahwa korban tunggal tidak memenuhi syarat “sistematis dan meluas” menurut UU No. 26 Tahun 2000. Pandangan ini menimbulkan dilema hukum dan menambah lama proses penyelidikan.
Di sisi lain, banyak akademisi hukum menegaskan bahwa modus dan keterlibatan aparat negara lebih penting dibanding jumlah korban.
“Jumlah korban bukan satu-satunya ukuran. Yang penting adalah modus dan keterlibatan aparat negara,” tegas seorang pengajar hukum HAM dari Universitas Indonesia.
Setelah penyelidikan, Komnas HAM menyerahkan kasus ke Jaksa Agung untuk penyidikan dan membawa kasus ke Pengadilan HAM. Namun sejarah menunjukkan bahwa Kejaksaan sering menunda atau menolak melanjutkan proses. Alasan yang diajukan bermacam-macam mulai dari kurang bukti, menunggu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, atau pertimbangan prosedural lain.
Akibatnya, berkas penyelidikan sering “parkir” di meja Kejaksaan tanpa kepastian tindakan selanjutnya. Usulan untuk memberikan Komnas HAM kewenangan penyidikan langsung agar tidak tersandera Kejaksaan juga tidak pernah ditanggapi serius, memperlihatkan lemahnya political will untuk menegakkan keadilan.
Perspektif keluarga dan aktivis HAM
Keluarga Munir, terutama Suciwati, menyuarakan kekecewaan yang mendalam. “Kami tidak butuh belas kasihan, kami butuh keadilan,” kata Suciwati dalam diskusi publik. Keengganan lembaga negara menindaklanjuti kasus ini menimbulkan rasa sakit yang berkepanjangan bagi keluarga yang kehilangan orang terkasih secara tragis.
Aktivis HAM menilai kasus Munir sebagai indikator sejauh mana negara melindungi hak-hak warga sipil. Jika negara gagal menuntaskan pembunuhan seorang pembela HAM, pesan yang tersampaikan sangat jelas: budaya impunitas masih hidup dan mengakar kuat di tubuh negara.
Pada 7 September 2025, para pegiat HAM menggelar aksi damai di depan kantor Komnas HAM Jakarta, memasang spanduk berwajah Munir dan poster terkait kematiannya, menuntut penyelidikan yang tuntas karena aktor intelektual masih bebas. Aksi ini sekaligus memperlihatkan kegigihan masyarakat sipil dalam menuntut keadilan.
Kasus Munir bukan hanya persoalan satu nyawa. Lambannya proses hukum dan ketidakjelasan penyelesaian memberi dampak luas bagi politik, hukum, dan kepercayaan publik. Komunitas internasional, terutama Belanda dan Uni Eropa, terus memantau perkembangan kasus, mengkritisi lambannya penegakan hukum.
Di dalam negeri, kasus ini menciptakan preseden berbahaya. Publik belajar bahwa membunuh pengkritik bisa dilakukan secara sistematis tanpa risiko signifikan bagi aktor intelektual. Pesan ini jelas mengancam pertumbuhan demokrasi dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Komnas HAM menghadapi kendala teknis dan birokrasi yaitu saksi sulit dipanggil, bukti menipis, dan perdebatan internal berkepanjangan. Namun akar masalah tetap sama sejak 2004: tidak ada kemauan politik.
Selama elite politik terus menekan, dokumen penting hilang, dan lembaga penegak hukum enggan bertindak, kasus Munir hanya akan menjadi catatan panjang dalam arsip Komnas HAM.
Ironisnya, Munir pernah berkata: “Demokrasi hanya bisa tumbuh jika ada keberanian melawan ketidakadilan.” Dua dekade kemudian, negara yang ia bela tampak gentar menghadapi bayang-bayangnya sendiri.

0Komentar