Di tengah larangan ASN pamer kemewahan, gaji DPRD Kabupaten Bogor justru tembus Rp91 juta per bulan. Publik mempertanyakan rasa keadilan. (Bogorkita.com)

Kontras mencolok terjadi di Kabupaten Bogor. Di saat Bupati menginstruksikan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk hidup sederhana dan tidak mempertontonkan gaya hidup mewah, justru fakta gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terungkap bernilai fantastis. Besarannya mencapai puluhan juta rupiah per bulan, bahkan tembus Rp91 juta bagi Ketua DPRD.

Instruksi kesederhanaan ini dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 100.3.4.2/490-BKPSDM yang diteken Bupati Bogor Rudy Susmanto. SE tersebut menegaskan ASN harus menerapkan pola hidup hemat, bersahaja, dan menghindari perilaku flexing baik dalam keseharian maupun melalui media sosial.

Alasan penerbitan SE ini sederhana: untuk menjaga citra ASN di mata masyarakat, mencegah kecemburuan sosial, serta meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, imbauan tersebut dimaksudkan agar ASN lebih fokus pada kegiatan sosial dan keagamaan.

Namun, di saat aturan itu berlaku ketat, publik justru dikejutkan dengan data resmi mengenai hak keuangan anggota DPRD Kabupaten Bogor yang nilainya melonjak drastis.

Dokumen resmi menunjukkan Ketua DPRD Kabupaten Bogor saat ini menerima total hak keuangan sebesar Rp91.510.000 per bulan. Wakil Ketua DPRD memperoleh Rp86.756.250 per bulan, sementara anggota DPRD biasa mendapat Rp74.706.750 per bulan.

Besaran itu mencakup gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan representasi, tunjangan perumahan, dan berbagai fasilitas administratif lain. Dari semua komponen, tunjangan perumahan menjadi sorotan terbesar karena mengalami kenaikan lebih dari 100 persen.


Perubahan Aturan: Dari 2017 ke 2023

Kenaikan tersebut diatur melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 44 Tahun 2023 yang ditandatangani Bupati Iwan Setiawan pada 22 September 2023. Perbup ini merevisi aturan lama, yakni Perbup Nomor 45 Tahun 2017 yang berlaku di era Bupati Nurhayati.

Perbandingan antara aturan lama dan baru cukup mencolok:

Ketua DPRD: dari Rp22 juta menjadi Rp44,5 juta per bulan.

Wakil Ketua DPRD: dari Rp20 juta menjadi Rp43,5 juta per bulan.

Anggota DPRD: dari Rp18 juta menjadi Rp38,5 juta per bulan.

Dengan kata lain, tunjangan perumahan naik lebih dari dua kali lipat hanya dalam satu kali revisi peraturan.


Penjelasan BPKAD

Meski menuai sorotan, pemerintah daerah memastikan aturan itu masih berlaku. Sekretaris Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Bogor, Achmad Wildan, menyampaikan bahwa pihaknya tetap mengacu pada Perbup 44/2023.

“Iya masih, belum ada perubahan masih menggunakan Perbup 44 Tahun 2023,” kata Wildan saat dikonfirmasi. Ia menambahkan, “Baiknya ke Setwan, kami menunggu arahan.”

Wildan menjelaskan, kewenangan revisi atau evaluasi bukan berada di tangan BPKAD, melainkan Sekretariat DPRD (Setwan). Sampai saat ini, belum ada instruksi atau pembahasan resmi untuk meninjau ulang aturan tersebut.

Fakta gaji fantastis anggota DPRD Bogor cepat menyebar di media sosial dan memicu perdebatan publik. Banyak warganet mempertanyakan konsistensi pemerintah daerah. di satu sisi ASN diminta hidup sederhana, di sisi lain wakil rakyat menikmati kenaikan tunjangan signifikan.

Beberapa daerah lain sudah mengambil langkah berbeda. Ada yang menunda kenaikan tunjangan dewan, ada pula yang tengah melakukan evaluasi untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Kabupaten Bogor hingga kini masih menerapkan aturan lama tanpa revisi.

Kronologi Singkat

2017: Bupati Nurhayati menerbitkan Perbup 45/2017. Tunjangan perumahan DPRD ditetapkan Rp18 juta–Rp22 juta per bulan.

2023: Bupati Iwan Setiawan menandatangani Perbup 44/2023. Tunjangan perumahan naik lebih dari 100 persen.

2024: Bupati Rudy Susmanto mengeluarkan SE 100.3.4.2/490-BKPSDM. ASN dilarang flexing dan diminta hidup sederhana.

2025: Data gaji DPRD Kabupaten Bogor viral, menimbulkan perdebatan publik soal keadilan dan konsistensi kebijakan.


Dari sisi pemerintah, BPKAD menegaskan masih menjalankan aturan yang ada dan menunggu arahan lebih lanjut dari Sekretariat DPRD. 

“Kami menunggu arahan,” tegas Achmad Wildan.

Sementara dari sisi masyarakat, muncul kritik bahwa kebijakan tersebut menimbulkan ketimpangan. Instruksi kesederhanaan dianggap tidak adil jika hanya menyasar ASN, sementara anggota DPRD justru menikmati fasilitas yang jauh lebih besar.