Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang sebagai mahakarya warisan Presiden Joko Widodo kini memasuki babak baru yang jauh dari gemerlap. Dengan anggaran yang dipangkas drastis dan dukungan politik yang makin tipis, megaproyek senilai US$35 miliar di Kalimantan ini berisiko berubah menjadi sekadar monumen mahal di tengah hutan belantara.
Sejak peresmian simbolis setahun lalu, realitas di lapangan tidak sesuai dengan retorika besar. Dari target relokasi ribuan aparatur sipil negara (ASN), baru sekitar 1.000 pegawai yang benar-benar tinggal di sana kontras dengan Jakarta yang dihuni 12 juta orang.
Jalan-jalan lebar dan istana presiden yang megah memang sudah berdiri, tetapi sebagian besar masih sunyi, seperti panggung megah tanpa penonton.
Sinyal terkuat bahwa proyek ini kehilangan tenaga ada pada angka anggarannya. Dari Rp43,4 triliun pada 2024, alokasi untuk IKN turun tajam menjadi hanya Rp6,3 triliun dalam RAPBN 2026. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengonfirmasi pemangkasan ini meski tanpa penjelasan detail mengenai kelanjutan proyek.
Pemotongan ini bukan kebetulan. Presiden Prabowo Subianto menggeser fokus ke program sosial raksasa berupa makan gratis bagi 82 juta anak sekolah dan ibu hamil yang butuh dana Rp700 triliun dalam beberapa tahun ke depan.
Demi itu, belanja kementerian ikut dipangkas habis-habisan. Kementerian PUPR yang jadi tulang punggung pembangunan IKN bahkan terkena potongan sampai 70 persen. Tak heran progres konstruksi ikut melambat.
Perbedaan ritme antara era Jokowi dan Prabowo juga diakui langsung oleh desainer kota Sofian Sibarani. Menurutnya pembangunan IKN di era Jokowi berjalan “sangat cepat” sementara kini melambat drastis. Data mendukung karena baru 800 dari total 6.600 hektar kawasan inti pemerintahan yang benar-benar tersentuh pembangunan.
Target relokasi ASN yang semula dijanjikan Agustus 2024 pun mundur berkali-kali, mulai dari September, Oktober, Januari 2025, dan kini tidak jelas sampai kapan. Seorang pejabat yang terlibat pembangunan bahkan pesimis dengan berkata “Saya masih 50-50 apakah ini bisa selesai… banyak hal yang tidak akan terselesaikan.”
Prabowo sendiri hanya sekali menyebut IKN dalam pidato kenegaraannya, pertanda jelas bahwa proyek ini bukan prioritas.
Sementara itu persoalan praktis juga menambah daftar masalah. Bandara Nusantara sempat kebanjiran pada Januari 2025, sebuah ironi untuk kota yang digadang sebagai smart city masa depan.
Di sisi ekonomi, pelaku usaha lokal justru megap-megap. Seorang pedagang mengaku pendapatannya turun 60 persen dibanding masa Jokowi.
Jangan lupa, IKN sejak awal dijual ke dunia internasional sebagai simbol “Indonesia baru”.
Jokowi sempat merayu investor dari Jepang, Korea Selatan, hingga Uni Emirat Arab.
Dengan kondisi sekarang, daya tarik itu jelas memudar. Investor asing akan berpikir dua kali masuk ke proyek yang tidak lagi mendapat prioritas dari pemerintah baru. Dari sisi citra, Indonesia bisa terlihat seperti negara yang setengah hati membangun proyek prestisiusnya sendiri.
Kisah pemindahan ibu kota bukan hal baru di dunia. Brasilia di Brasil pada 1960 terbukti sukses meski awalnya dikritik sebagai proyek megalomania.
Sebaliknya, Naypyidaw di Myanmar sejak 2005 sampai sekarang lebih sering disebut “kota hantu” karena sepi dan jauh dari pusat kehidupan. Pertanyaan yang menggelayut, Nusantara akan mengikuti jejak yang mana?
Dampak paling nyata terasa di ekonomi lokal. Pedagang dan pengusaha kecil di sekitar lokasi pembangunan mengaku omzet anjlok, bertolak belakang dengan klaim pemerintah yang menyebut IKN membawa multiplier effect.
Di tingkat nasional, kontraktor besar dan BUMN karya yang tadinya berharap panen proyek justru kena imbas pemotongan anggaran. Artinya, IKN yang dijanjikan sebagai mesin ekonomi baru justru berbalik menjadi beban.
Secara politik, taruhannya tidak kecil. Jika IKN mangkrak, warisan politik Jokowi bisa tercoreng. Sebaliknya, Prabowo bisa dilihat publik sebagai pemimpin yang realistis karena lebih fokus pada program populis seperti makan gratis.
Namun risiko lainnya, Prabowo dianggap mengabaikan visi jangka panjang negara dan lebih sibuk dengan strategi politik lima tahunan.
Terlepas dari masa depan IKN, kerusakan lingkungan sudah terjadi. Pembukaan lahan ribuan hektar hutan tropis di Kalimantan Timur telah mengubah lanskap ekologi. Jika proyek berhenti di tengah jalan, dampaknya ganda, hutan rusak tetapi kota baru pun tidak lahir. Sebuah kerugian ganda yang sulit diterima akal sehat.
Sejarah pembangunan di Indonesia mencatat banyak proyek ambisius yang berakhir setengah jadi. Lantas apakah IKN akan menambah daftar panjang itu atau masih bisa diselamatkan lewat strategi baru?
Untuk saat ini, fakta di lapangan menunjukkan IKN lebih dekat ke simbol gajah putih yang megah, mahal, tapi minim manfaat daripada pusat pemerintahan masa depan.
Di tengah belantara Kalimantan, visi Jokowi kini berhadapan dengan realpolitik Prabowo yang memilih antara mimpi besar atau kenyang perut rakyat.
Nabila Elisa Maharani berkontribusi dalam artikel ini.
Disclaimer: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis. Isi dan sudut pandang yang disajikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial atau pandangan Apluswire.com.

0Komentar