PM Israel Benjamin Netanyahu resmikan proyek E1 di Tepi Barat. Ia tegaskan tidak akan ada negara Palestina, langkah ini menuai kecaman internasional. (Via Facebook)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menegaskan penolakannya terhadap berdirinya negara Palestina. Pernyataan itu disampaikan saat meresmikan proyek pemukiman besar E1 di kawasan Maale Adumim, Tepi Barat, pekan ini.

“Tidak akan ada negara Palestina. Ini adalah tanah Israel, dan kami akan memperkuat kehadiran kami di sini,” ujar Netanyahu dalam pidato peresmian.

Proyek E1 yang menghubungkan Maale Adumim dengan Yerusalem Timur meliputi pembangunan ribuan unit hunian dan infrastruktur baru. 

Rencana ini sudah ada sejak 1990-an, namun lama tertunda karena tekanan internasional. Kini, proyek tersebut dijalankan kembali oleh pemerintahan sayap kanan yang dipimpin Netanyahu.

Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mendukung penuh langkah ini. Ia bahkan menyebut proyek tersebut sebagai titik akhir bagi gagasan dua negara. 

“Proyek E1 menguburkan ide negara Palestina,” katanya.

Langkah Israel itu langsung menuai kecaman. Otoritas Palestina menilai pembangunan pemukiman di tanah pendudukan melanggar hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa, yang melarang pemindahan warga negara ke wilayah yang diduduki.

Sejumlah negara Barat juga bereaksi keras. Pada Agustus 2025, 21 negara, termasuk Inggris, Prancis, Kanada, Australia, Jepang, dan sebagian besar anggota Uni Eropa, mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka menyebut proyek E1 sebagai pelanggaran hukum internasional sekaligus ancaman serius terhadap kemungkinan solusi dua negara.

“Langkah ini berisiko memutus akses Palestina ke Yerusalem dan melemahkan peluang perdamaian jangka panjang,” bunyi pernyataan itu.

Secara geografis, pengembangan E1 akan membuat wilayah Tepi Barat terpecah. Kontinuitas wilayah yang diharapkan Palestina untuk mendirikan negara masa depan akan terhalang, sementara Israel memperkuat kendali di area strategis antara Yerusalem dan Tepi Barat bagian timur.

Situasi ini diperkirakan akan meningkatkan ketegangan diplomatik dan bisa mendorong kembali upaya pengakuan Palestina di forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).