![]() |
| Israel klaim pengungsian warga Gaza sukarela, Mesir membantah keras dan sebut itu paksaan berkedok perang di tengah kebuntuan gencatan senjata. ((Dok. ANTARA/ANADOLU) |
Pengungsian massal warga Palestina di Gaza sebagai tindakan sukarela. Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, menuding langkah itu justru dipicu oleh tekanan dan kondisi kelaparan buatan yang diciptakan selama agresi militer Israel yang terus berlangsung sejak 2023.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers bersama Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, di Kairo pada Sabtu (6/9/2025).
“Omong kosong untuk mengatakan bahwa ini adalah pengungsian sukarela,” kata Abdelatty. Ia menambahkan, “Jika ada kelaparan buatan manusia (di Gaza), itu bertujuan mendorong penduduk keluar dari tanah mereka.”
Sejak awal September, Israel kembali meminta warga Gaza City mengungsi ke wilayah selatan. Namun, serangan udara dan artileri tetap menghantam Khan Yunis dan Rafah, wilayah yang disebut-sebut sebagai "zona aman" tersebut.
Data otoritas setempat mencatat 64.300 warga Palestina telah tewas sejak konflik meletus dua tahun lalu, dengan 361 korban meninggal akibat kelaparan hingga akhir Agustus 2025, termasuk 130 anak-anak.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam pernyataan resmi 5 September 2025, menyebut pengungsian itu sebagai “hak dasar individu untuk memilih tempat tinggal, terutama pada masa perang.”
Ia juga mendorong negara-negara lain menerima warga Palestina yang ingin meninggalkan Gaza. Pernyataan ini memantik reaksi keras Mesir dan Qatar, dua negara yang memediasi perundingan gencatan senjata bersama Amerika Serikat.
Mesir menilai klaim tersebut sebagai upaya menghindari akuntabilitas atas pelanggaran hukum humaniter. Mereka menyebut pemaksaan eksodus melalui penutupan jalur bantuan sejak 2 Maret 2025 sebagai bentuk pembersihan etnis. Qatar pun menggemakan kritik serupa, mendesak komunitas internasional mengaktifkan mekanisme akuntabilitas terhadap Israel.
Upaya gencatan senjata pun masih menemui jalan buntu. Hamas pada Agustus 2025 telah menyetujui proposal mediasi yang berisi penghentian operasi militer selama 60 hari, pertukaran sandera separuh sandera Israel dibebaskan dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina dan pembukaan akses bantuan kemanusiaan.
Namun, setelah kesepakatan itu diterima Hamas, Israel kembali mengajukan syarat-syarat baru, membuat perundingan stagnan.
Di lapangan, situasi kian memburuk. Jalur masuk bantuan kemanusiaan ditutup hampir total, membuat 43.000 anak di bawah usia lima tahun menderita kekurangan gizi, sementara 55.000 perempuan hamil dan menyusui terjebak dalam kondisi serba kekurangan.
Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy bahkan menyebut kelaparan di Gaza sebagai bencana buatan manusia dan mengumumkan tambahan bantuan sebesar £15 juta untuk Palestina.
Sementara itu, ribuan warga Gaza yang diminta mengungsi ke selatan justru mendapati wilayah tersebut tak kalah berbahaya. Rumah-rumah dan infrastruktur vital hancur diterjang serangan artileri.
“Kami disuruh pergi ke selatan, tapi roket tetap menghujani. Ke mana lagi kami harus pergi?” kata seorang pengungsi di Rafah kepada Al-Jazeera, melalui sambungan telepon yang dibatasi sinyal.
Mesir dan Qatar, bersama utusan khusus Amerika Serikat Steve Witkoff, masih berusaha membuka jalur perundingan baru. Namun, di tengah sikap Israel yang berubah-ubah, tekanan internasional yang belum solid, dan korban sipil yang terus bertambah, Gaza tampaknya hanya terus menjadi papan catur tempat rakyatnya digeser-geser tanpa kepastian akhir.

0Komentar