Sektor kehutanan Indonesia tengah menghadapi krisis serius setelah kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) anjlok dari 0,7 persen menjadi hanya 0,36 persen. Kondisi ini membuat industri kehutanan masuk kategori sunset industry akibat minimnya investasi dan beban regulasi yang dinilai memberatkan.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut rendahnya minat investasi menjadi penyebab utama. Berdasarkan catatannya, porsi investasi domestik di sektor ini hanya sekitar 1 persen, sementara investasi asing nyaris tak ada, hanya 0,02 persen.
“Padahal kalau dikelola optimal, sektor kayu bisa jadi pengungkit ekonomi,” kata Huda dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian bertajuk Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi di Jakarta, pekan lalu.
Tren penurunan industri kehutanan sebenarnya sudah berlangsung sejak tiga dekade terakhir. Data historis mencatat jumlah perusahaan pemegang izin di hutan alam yang pada 1990 mencapai sekitar 600 unit, kini tinggal 250-an perusahaan aktif.
Produksi kayu hutan alam juga merosot tajam menjadi hanya 1,6 juta meter kubik per tahun, angka yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kayu di Jakarta.
“Tanpa investasi baru, industri kehutanan akan berhenti. Kita menghadapi industri sunset,” ujar Guru Besar Kehutanan IPB Prof Sudarsono Sudomo.
Ia menambahkan, meski produksi kayu meningkat di beberapa sisi, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis justru terus melemah. Kinerja ekspor juga turun dalam empat tahun terakhir setelah sempat membaik pada dekade sebelumnya.
Salah satu persoalan yang dikeluhkan pelaku usaha adalah regulasi, terutama penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sudarsono menilai aturan tersebut menambah biaya tanpa manfaat nyata bagi petani maupun pengusaha kecil.
“Setiap aturan hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar dari beban tentu bisa diterima, tapi kenyataannya sering lebih mahal dari manfaatnya,” ucapnya.
Evaluasi berbagai lembaga menemukan kelemahan sistemik pada penerapan SVLK, mulai dari standar legalitas yang menurun, mekanisme keterlacakan yang tidak menjamin kayu legal, hingga lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Kondisi ini ikut menghambat kepercayaan investor untuk masuk.
Sementara itu, pengamat kehutanan Petrus Gunarso menyoroti framing internasional terhadap kayu Indonesia. Ia mencontohkan pemberitaan The New York Times yang menyebut pasokan kayu Indonesia untuk industri kendaraan rekreasi di Amerika Serikat bersumber dari pembalakan liar.
“Yang diekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa (IPK) dari land clearing HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah-olah pembalakan liar besar-besaran,” jelas Petrus.
Ia juga menyebut adanya perbedaan definisi deforestasi antara lembaga internasional dengan kondisi lapangan. Hutan alam yang dialihfungsikan menjadi hutan tanaman, menurutnya, kerap dicap deforestasi meski secara produksi justru lebih cepat tumbuh.
Dengan tren penurunan kontribusi, melemahnya ekspor, dan minimnya investasi, sektor kehutanan kini menghadapi tekanan berat dibanding sektor lain seperti perkebunan dan perikanan yang lebih atraktif bagi investor.

0Komentar