Donald Trump mengonfirmasi negosiasi awal dengan Taliban terkait kemungkinan kembalinya militer Amerika Serikat ke pangkalan udara Bagram, Afghanistan. (REUTERS/Mohammad Ismail)

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang menjajaki kemungkinan menghidupkan kembali kehadiran militer di Pangkalan Udara Bagram, Afghanistan. Informasi ini pertama kali mencuat dari laporan The Wall Street Journal dan CNN yang menyebut pembicaraan awal sudah berjalan selama beberapa bulan terakhir.

Diskusi dipimpin oleh Utusan Khusus untuk Respons Sandera, Adam Boehler, dan melibatkan sejumlah isu, mulai dari penggunaan Bagram sebagai basis operasi kontra-terorisme hingga potensi pertukaran tahanan dan kerja sama ekonomi.

Trump mengonfirmasi hal tersebut secara terbuka dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, Kamis lalu. 

"Kami sedang mencoba mendapatkannya kembali karena mereka membutuhkan sesuatu dari kami. Kami ingin pangkalan itu kembali," kata Trump, menekankan nilai strategis Bagram yang menurutnya hanya berjarak "satu jam dari tempat China membuat senjata nuklirnya".

Sikap berbeda datang dari Taliban. Zakir Jalaly, pejabat Kementerian Luar Negeri Afghanistan, menyatakan lewat media sosial bahwa Afghanistan dan Amerika Serikat bisa tetap menjalin interaksi, namun tanpa ada kehadiran militer AS. 

"Afghanistan dan Amerika Serikat perlu saling berinteraksi... tanpa Amerika Serikat memiliki kehadiran militer di mana pun di Afghanistan," tulis Jalaly.

Ia menambahkan, kedua negara bisa membangun hubungan politik dan ekonomi berdasarkan saling menghormati. Jalaly juga mengingatkan bahwa rakyat Afghanistan sejak lama menolak keberadaan pasukan asing. 

"Kehadiran militer tidak pernah diterima oleh rakyat Afghanistan dalam sejarah, dan kemungkinan ini sepenuhnya ditolak selama pembicaraan Doha," ujarnya.

Nada lebih keras muncul dari Wakil Menteri Muhajer Farahi yang menyinggung perlawanan masa lalu. Dalam sebuah unggahan, ia menulis puisi tentang pihak asing yang "dulu membenturkan kepala mereka ke batu bersama kami".


Kepentingan Strategis AS

Menurut laporan CNN, Trump sudah sejak Maret mendorong tim keamanan nasionalnya menyiapkan opsi untuk merebut kembali Bagram. 

Pangkalan yang berjarak 40 kilometer di utara Kabul itu dipandang vital untuk beberapa tujuan yakni memantau aktivitas Tiongkok, mengawasi pergerakan ISIS, membuka akses terhadap sumber daya mineral Afghanistan, hingga kemungkinan mengaktifkan kembali fasilitas diplomatik.

Bagram sebelumnya adalah instalasi militer terbesar AS di Afghanistan sepanjang perang dua dekade. Dibangun oleh Uni Soviet, pangkalan ini sempat menjadi pusat operasi Amerika dan menampung ribuan tahanan selama "perang melawan teror" sebelum akhirnya ditinggalkan saat penarikan pasukan AS pada 2021.


Respons Resmi dan Internasional

Pihak Pentagon masih berhati-hati menanggapi isu ini. Juru bicara Departemen Pertahanan, Sean Parnell, menyebut lembaganya "secara rutin meninjau bagaimana Departemen akan merespons berbagai kontinjensi" dan siap menjalankan misi apapun atas arahan presiden.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok ikut menyoroti perkembangan ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lin Jian, menegaskan bahwa "masa depan dan nasib Afghanistan harus berada di tangan rakyat Afghanistan sendiri".

Pembahasan terbaru juga mencakup pertemuan antara Adam Boehler, mantan utusan AS Zalmay Khalilzad, dan Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi. 

Agenda utama pertemuan itu adalah nasib warga Amerika yang saat ini ditahan di Afghanistan. Meski begitu, Amerika Serikat hingga kini secara resmi belum mengakui pemerintahan Taliban.