Nama Gudang Garam pernah identik dengan kejayaan rokok kretek Indonesia. Dari Kediri, Jawa Timur, perusahaan ini tumbuh menjadi raksasa industri tembakau, menguasai lebih dari sepertiga pasar nasional dan menyetor cukai miliaran rupiah ke negara. Kini ceritanya terdengar jauh lebih suram, laba bersih anjlok 87 persen pada semester I 2025 menjadi hanya Rp117,16 miliar.
Bagi perusahaan yang pernah mencetak Rp10,8 triliun laba bersih pada 2019, angka itu menjadi ironi. Harga sahamnya pun jatuh, dari Rp90.000 per lembar pada masa puncak menjadi hanya Rp8.800, turun lebih dari 90 persen.
Gudang Garam bukan sekadar perusahaan, melainkan simbol kejayaan ekonomi berbasis kretek. Pada dekade 1980-an, pabrik seluas 240 hektar di Kediri mampu memproduksi satu juta batang rokok per hari. Produk ikonik seperti Surya dan Gudang Garam Merah melegenda di kalangan perokok Indonesia.
Kini perusahaan itu menghadapi kondisi yang jauh lebih berat. Pendapatan semester I 2025 turun 11,30 persen menjadi Rp44,36 triliun. Penjualan sigaret kretek tangan menyusut hampir 20 persen, sedangkan sigaret kretek mesin turun lebih dari 10 persen.
“Ini alarm keras bagi industri. Penurunan bukan hanya karena pasar jenuh, tetapi juga karena regulasi yang makin ketat,” kata seorang analis pasar modal di Jakarta.
Tekanan yang dialami Gudang Garam tidak terlepas dari dinamika industri rokok nasional. Laporan semester I 2025 memperlihatkan penurunan pendapatan dan laba di hampir semua lini.
Laba bersih turun 87,34 persen menjadi Rp117,16 miliar, dari Rp925,51 miliar pada periode sama tahun sebelumnya.
Pendapatan terkoreksi 11,29 persen menjadi Rp44,36 triliun, seiring pelemahan daya beli konsumen.
Laba usaha merosot 68,16 persen ke Rp513,71 miliar, menekan margin keuntungan perusahaan.
Gross margin hanya 8,6 persen, sementara net margin tinggal 0,3 persen.
Harga saham turun 32 persen sejak awal tahun, dan jatuh lebih dari 90 persen dari level puncak tahun 2019.
Total aset menyusut menjadi Rp79,80 triliun per Juni 2025, dari Rp84,93 triliun pada akhir 2024. Namun kas meningkat ke Rp3,96 triliun dan liabilitas berkurang ke Rp18,72 triliun, memberi ruang napas likuiditas.
Return on Equity hanya 0,19 persen dan Return on Assets 0,15 persen, menandakan rendahnya pengembalian modal.
Meski liabilitas menurun dan arus kas operasional meningkat, pelemahan laba bersih dan penurunan margin menunjukkan perusahaan menghadapi tekanan besar dalam menjaga profitabilitas. Investor menilai situasi ini sebagai sinyal hati-hati terhadap prospek jangka pendek perseroan.
Masalah terbesar datang dari kebijakan cukai. Tarif yang naik rata-rata 10 persen pada 2024 membuat harga rokok melonjak. Konsumen tetap membeli, tetapi mencari yang lebih murah, termasuk rokok ilegal.
Bagi negara, kenaikan cukai memang menambah penerimaan. Namun bagi buruh rokok, itu berarti ancaman pemutusan hubungan kerja. Beban cukai, PPN, dan pajak rokok kini memakan lebih dari 80 persen biaya pokok Gudang Garam, sehingga perusahaan sulit bernapas.
“Kami yang terkena dampaknya. Banyak karyawan kehilangan pekerjaan,” ujar seorang buruh yang baru saja dirumahkan.
Selain tekanan regulasi, rokok ilegal semakin merajalela. Produk tanpa pita cukai beredar luas dengan harga jauh lebih murah. Konsumen yang terbebani harga tinggi pun beralih. Negara kehilangan penerimaan, pabrikan resmi kehilangan pasar, sementara penegakan aturan dinilai kurang maksimal.
“Kalau pemerintah serius, peredarannya tidak akan sebesar sekarang,” ujar Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri).
Generasi muda kini lebih tertarik pada rokok elektrik dan produk tembakau alternatif. Gudang Garam terbilang lambat merespons tren ini. Pesaing sudah lebih dulu meluncurkan produk vape, sementara perusahaan baru membentuk anak usaha pada 2021.
“Pasarnya bergerak cepat, tetapi Gudang Garam masih mengandalkan produk lama,” kata seorang ekonom Universitas Airlangga. “Kalau tidak beradaptasi, sulit bersaing.”
Menyadari ancaman di industri kretek, keluarga Wonowidjojo mencoba masuk ke bisnis lain. Gudang Garam merambah jalan tol melalui PT Surya Kerta Agung dan membangun Bandara Dhoho di Kediri dengan dana Rp1 triliun.
Diversifikasi ini memberi harapan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan. Apakah langkah tersebut benar-benar strategi jangka panjang atau sekadar upaya keluar dari tekanan industri utama.
Pasar tampaknya masih ragu. Harga saham tetap tertekan, menunjukkan keyakinan investor belum pulih.
Pemerintah beralasan kenaikan cukai bertujuan menekan konsumsi demi kesehatan masyarakat. Namun kenyataannya peredaran rokok ilegal meningkat, buruh kehilangan pekerjaan, dan industri formal tertekan.
Dilema ini memperlihatkan dua wajah pemerintah. Di satu sisi ingin mengurangi konsumsi rokok, di sisi lain masih bergantung pada lebih dari Rp200 triliun setoran cukai per tahun.

0Komentar