Fenomena shrinking middle class di Indonesia makin nyata. Data LPS menunjukkan pertumbuhan simpanan di bawah Rp100 juta melambat, sinyal melemahnya daya beli kelas menengah bawah. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Kondisi kelas menengah bawah di Indonesia kian mendapat sorotan. Data terbaru Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan perlambatan pertumbuhan simpanan masyarakat dengan nominal kurang dari atau sama dengan Rp100 juta. 

Perlambatan ini menjadi sinyal melemahnya daya beli, terutama pada kelompok rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi domestik.

Per Juli 2025, simpanan dengan nominal tersebut hanya tumbuh 4,8 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). 

Angka ini menurun dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 4,9 persen, dan posisi Desember 2024 sebesar 5,1 persen. Perlambatan konsisten dalam tujuh bulan terakhir itu menunjukkan semakin sempitnya ruang menabung di kalangan kelas menengah bawah.


Tekanan pada Kelompok Menengah

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menuturkan kelompok menengah kini menjadi pihak yang paling terjepit. 

Menurutnya, posisi kelas menengah berbeda dengan kelompok miskin yang memperoleh bantuan sosial, maupun korporasi dan investor yang menikmati berbagai insentif fiskal.

“Data juga menunjukkan bahwa disposable income itu terus mengalami penurunan, yang artinya makin banyak uang habis untuk pembayaran pajak, pungutan, iuran setelah gaji. Jadi uang yang bisa dibelanjakan makin berkurang, mencari kerja terutama lapangan kerja di sektor formalnya juga semakin terbatas,” jelas Bhima.

Ia menyebut kondisi ini mengarah pada fenomena shrinking middle class, atau penyusutan jumlah kelas menengah. Tekanan utamanya datang dari meningkatnya biaya hidup, sementara kenaikan pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran rutin yang harus dipenuhi.


Data Makroekonomi Menguatkan Tren

Pelemahan konsumsi kelas menengah bawah juga tercermin dari data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti per Juli 2025 berada di level 2,32 persen (YoY), menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan inflasi inti ini biasanya mengindikasikan lemahnya permintaan domestik.

Di sisi ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan adanya 42.385 pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari–Juni 2025. Angka ini naik 32,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. PHK banyak terjadi di sektor manufaktur, perdagangan, hingga pertambangan, sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja menengah ke bawah.

Dampaknya, semakin banyak rumah tangga yang harus mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup. Namun, perlambatan simpanan di bank mengindikasikan bahwa ruang untuk menabung semakin terbatas.


Perspektif Perbankan

Pihak perbankan mengakui tekanan yang dirasakan segmen menengah. Bank Mandiri, misalnya, menyebut tren pertumbuhan simpanan masyarakat memang lebih lambat di segmen kecil, meski secara total tetap positif.

“Kami melihat pertumbuhan simpanan masih di atas 7 persen YoY untuk keseluruhan nasabah. Namun, pada segmen simpanan kecil memang ada tantangan, sejalan dengan kondisi daya beli yang menurun,” ujar seorang pejabat Bank Mandiri dalam keterangan tertulis.

Bank Tabungan Negara (BTN) juga mencatat tren serupa. Meski menyadari tekanan pada simpanan rumah tangga, BTN menilai potensi pertumbuhan tetap ada melalui diversifikasi produk serta layanan digital yang memudahkan masyarakat menabung.


Kronologi Perlambatan Sejak Awal Tahun

Perlambatan simpanan kelompok menengah bawah sudah terlihat sejak awal 2025. Pada Januari, pertumbuhan simpanan tercatat 5,0 persen YoY. Angka tersebut menurun menjadi 4,9 persen pada Juni, lalu turun lagi ke 4,8 persen pada Juli.

Data LPS juga menunjukkan bahwa 98,9 persen total rekening simpanan di bank berasal dari kelompok dengan saldo kurang dari atau sama dengan Rp100 juta. 

Artinya, meski mayoritas rekening dimiliki kelas menengah bawah, pertumbuhan nominalnya justru melambat dibandingkan simpanan besar di atas Rp5 miliar yang mencatat pertumbuhan lebih tinggi.

Pelemahan simpanan berbanding lurus dengan tren konsumsi. Penjualan mobil, kredit konsumsi, dan belanja rumah tangga menunjukkan perlambatan sejak paruh pertama 2025. Bank Indonesia mencatat Indeks Kepercayaan Konsumen berada di level 117,8 pada Juni 2025, mendekati titik terendah sejak September 2022.

Bagi rumah tangga kelas menengah bawah, kenaikan harga pangan dan energi sejak awal tahun turut mempersempit ruang konsumsi. Meskipun ekonomi nasional tumbuh 5,12 persen pada kuartal II-2025, pertumbuhan itu tidak dirasakan merata.

Bhima Yudhistira menuturkan, sejumlah kebijakan fiskal bisa membantu memperbaiki daya beli kelas menengah. Ia menyarankan penurunan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 8 persen, serta kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp7 juta per bulan.

Selain itu, Bhima menekankan pentingnya memperluas bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja informal dan memperkuat regulasi untuk pekerja ekonomi digital (gig economy). 

“Kalau kebijakan fiskalnya bisa lebih berpihak ke kelas menengah, tekanan konsumsi bisa berkurang,” ucapnya.

Meski perbankan menilai prospek simpanan masih positif, tantangan di depan tidak kecil. PHK yang terus meningkat, pendapatan yang stagnan, serta kenaikan beban pungutan menjadi faktor utama yang menekan kelompok menengah bawah.

Dalam jangka pendek, fenomena shrinking middle class diperkirakan akan terus membayangi. Seiring perlambatan simpanan di perbankan, kelompok ini berpotensi kehilangan kemampuan sebagai motor konsumsi domestik, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.