Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan tingkat tinggi membahas Gaza di tengah meningkatnya serangan Israel. Mayoritas anggota mendesak gencatan senjata, sementara AS kembali terisolasi karena penggunaan hak veto. (Xinhu)

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar pertemuan tingkat tinggi pada Selasa (23/9) di New York untuk membahas situasi Gaza, di tengah serangan darat Israel yang makin intensif di Kota Gaza. Mayoritas anggota Dewan mendesak gencatan senjata segera, sementara Amerika Serikat kembali mendapat sorotan karena penggunaan hak veto yang berulang.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres memperingatkan forum bahwa dunia kini menghadapi “salah satu babak tergelap dalam konflik Israel-Palestina.” 

Ia menyebut serangan militer Israel memperparah krisis kemanusiaan, dengan catatan lebih dari 65.000 warga Gaza tewas dan sekitar 90% penduduk mengungsi sejak perang pecah pada Oktober 2023.

Pertemuan ini digelar atas permintaan beberapa anggota Organisasi Kerja Sama Islam, termasuk Aljazair, Guyana, Pakistan, Sierra Leone, dan Somalia. Sidang tersebut menyoroti isolasi diplomatik yang kian menekan posisi AS dan Israel.

Duta Besar AS Mike Waltz dalam forum membela kebijakan negaranya, menilai waktu sidang yang bertepatan dengan hari raya Yahudi Rosh Hashanah tidak tepat. 

Ia juga menyebut pertemuan seperti ini justru “memberikan keberanian kepada Hamas” ketimbang mendorong jalur damai.

Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Denmark Lars Løkke Rasmussen menegaskan Dewan Keamanan seharusnya mampu mengambil sikap tegas. 

“Perang di Gaza harus diakhiri. Dewan Keamanan, sebagai badan yang bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional, seharusnya dapat mengajukan tuntutan ini,” ucap Rasmussen.

Pekan lalu, Amerika Serikat untuk keenam kalinya menggunakan hak veto sejak konflik dimulai, menggagalkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera, pembebasan sandera, serta akses penuh bantuan kemanusiaan. Empat belas anggota Dewan lainnya mendukung resolusi itu.

Desakan internasional terhadap Washington kian keras, seiring dengan langkah sejumlah negara Eropa memperkuat pengakuan kenegaraan Palestina. 

Sehari sebelum pertemuan, Prancis bersama Belgia, Luksemburg, Malta, Monako, dan Andorra secara resmi mengakui Palestina pada KTT tingkat tinggi PBB, mengikuti jejak Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal akhir pekan lalu.

Dengan tambahan pengakuan tersebut, kini sekitar 157 dari 193 negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai negara. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut pengakuan itu krusial untuk menjaga “kemungkinan nyata solusi dua negara.”

Momentum diplomatik ini disambut Guterres sebagai “secercah harapan,” meski ia memperingatkan ekspansi permukiman dan operasi militer Israel dapat mendorong wilayah itu “sangat mendekati titik tanpa kembali.” 

Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengisyaratkan kemungkinan tindakan sepihak, termasuk aneksasi Tepi Barat, sebagai respons atas gelombang pengakuan tersebut.