Generasi muda di Indonesia mulai menghidupkan kembali tradisi yang sempat terpinggirkan. Dari gamelan, batik, hingga jamu, mereka memanfaatkan komunitas dan media sosial untuk menjaga identitas budaya sekaligus membuka peluang ekonomi kreatif. (Gudegnews/Rahman)

Generasi muda di berbagai daerah di Indonesia mulai kembali melirik tradisi lama yang sempat terpinggirkan oleh modernisasi. Mereka melakukannya dengan berbagai cara, mulai dari menggelar festival budaya, membentuk komunitas seni, hingga memanfaatkan media sosial untuk memperkenalkan kearifan lokal kepada khalayak yang lebih luas.

Fenomena ini tidak hanya muncul di kota besar, tetapi juga di desa-desa yang memiliki akar tradisi kuat. Tujuannya beragam: mulai dari ingin menjaga identitas budaya, sebagian lain melihat peluang ekonomi kreatif, sementara lainnya sekadar mencari ruang ekspresi yang berbeda dari budaya populer arus utama.

Di Yogyakarta, sekelompok mahasiswa membentuk komunitas bernama "Gamelan Muda". Mereka rutin menggelar latihan terbuka dan menyiarkan pertunjukan lewat platform daring. 

"Kami ingin membuktikan bahwa gamelan bukan hanya untuk kalangan tua atau acara formal," kata Rian Prasetyo, koordinator komunitas, seperti dikutip dari video instagramnya.

Menurut Rian, cara ini berhasil menarik perhatian anak muda yang sebelumnya kurang mengenal gamelan. 

"Ketika ditampilkan di media sosial dengan cara yang lebih santai, ternyata banyak yang tertarik ikut belajar," ujarnya.

Fenomena serupa juga terjadi di Bali. Beberapa seniman muda mengemas ulang tari tradisional dengan narasi kontemporer tanpa mengubah inti gerakan. Mereka bekerja sama dengan industri pariwisata untuk menghadirkan pertunjukan yang tetap menghormati pakem, tetapi terasa lebih dekat dengan penonton muda.


Dorongan identitas dan peluang ekonomi

Banyak kalangan melihat kebangkitan tradisi ini sebagai upaya anak muda mencari identitas di tengah derasnya arus globalisasi. Antropolog budaya dari Universitas Indonesia, Dr. Ayu Kartika, menilai hal ini sebagai sikap adaptif generasi muda yang tidak mau kehilangan akar budaya, sekaligus ingin menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan modernitas.

Selain faktor identitas, ada pula dimensi ekonomi. Produk kerajinan tangan, kuliner tradisional, hingga pertunjukan seni lokal kini mulai dipasarkan secara profesional. Beberapa komunitas mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan pelaku industri kreatif.

Di Bandung, misalnya, pameran batik kontemporer yang diinisiasi oleh perajin muda berhasil menarik pembeli dari luar negeri. 

"Pasar global justru semakin menghargai produk dengan cerita budaya yang kuat," ujar Intan Ramadhani, pengrajin batik generasi kedua yang kini aktif memasarkan produknya lewat platform daring.

Tantangan menjaga otentisitas

Meski tren ini berkembang positif, sejumlah pihak mengingatkan adanya tantangan dalam menjaga otentisitas tradisi. Beberapa kalangan khawatir modifikasi berlebihan justru mengaburkan makna asli.

Budayawan asal Solo, Prof. Bambang Sutopo, menekankan pentingnya keseimbangan. 

"Tradisi itu bukan museum yang tak boleh disentuh, tetapi juga bukan barang dagangan semata. Anak muda boleh berinovasi, tapi perlu pemahaman mendalam agar esensi tidak hilang," katanya.

Hal ini tampak jelas pada kasus wayang kulit. Sejumlah dalang muda menambahkan unsur musik modern atau humor populer untuk menarik penonton. Sebagian penonton mengapresiasi inovasi tersebut, namun sebagian lain menilai bahwa pakem yang dilanggar terlalu jauh.


Peran negara dan komunitas lokal

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengaku mendukung upaya pelestarian budaya oleh generasi muda. Program Dana Indonesiana, misalnya, memberikan hibah untuk kegiatan seni dan budaya yang diinisiasi komunitas lokal.

"Selama dua tahun terakhir, kami melihat meningkatnya proposal dari kelompok anak muda. Ini menunjukkan adanya kesadaran baru," kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, dalam sebuah diskusi publik.

Namun, sebagian aktivis budaya berpendapat bahwa dukungan negara masih belum merata. Komunitas kecil di daerah terpencil sering kesulitan mengakses pendanaan atau fasilitas. 

"Banyak yang mengandalkan swadaya, sementara potensi mereka besar," ujar Dian Setyorini, peneliti kebijakan budaya di LIPI.


Menghidupkan, bukan sekadar melestarikan

Pengamat menilai istilah yang tepat untuk menggambarkan tren ini adalah "menghidupkan kembali", bukan hanya "melestarikan". Melestarikan sering diartikan sebagai menjaga tradisi agar tidak punah, sedangkan menghidupkan berarti memberi ruang agar tradisi relevan dengan konteks masa kini.

Generasi muda tampaknya sadar akan hal itu. Mereka tidak sekadar mengulang ritual, tetapi juga mencari makna baru yang bisa mereka hubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Di Jakarta, misalnya, komunitas kuliner tradisional mempopulerkan kembali jamu dengan gaya modern. Alih-alih dijual di warung sederhana, jamu dikemas dalam botol bergaya minimalis dan dipromosikan sebagai minuman sehat urban.

Kebangkitan tradisi oleh masyarakat muda mencerminkan perubahan cara pandang terhadap warisan budaya. Jika sebelumnya tradisi kerap dianggap beban masa lalu, kini ia mulai dilihat sebagai sumber daya untuk masa depan.

Namun, jalan ke depan tidak sepenuhnya mulus. Tantangan tetap ada, baik dalam bentuk komersialisasi yang berlebihan, keterbatasan sumber daya, maupun tarik-menarik antara otentisitas dan inovasi.

Meski demikian, tren ini menunjukkan bahwa tradisi di Indonesia tidak mati. Ia justru berada di persimpangan zaman, di mana generasi muda berperan sebagai jembatan antara masa lalu dan masa depan.