![]() |
| Badan Gizi Nasional (BGN) menolak usulan mengubah program makan bergizi gratis (MBG) menjadi bantuan tunai. (MP/Didik) |
Badan Gizi Nasional (BGN) menolak usulan perubahan skema program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi bantuan tunai. Penegasan ini disampaikan Kepala BGN, Dadan Hindayana, di Jakarta, setelah muncul wacana di DPR mengenai pemberian uang langsung kepada orang tua siswa sebagai alternatif program.
“Jadi kita tidak ingin melakukan itu. Program ini dirancang, kan sudah diskusi lama. Dan program ini adalah untuk intervensi pemenuhan gizi,” ujar Dadan.
Dadan menjelaskan, skema MBG telah dirancang sejak lama oleh Presiden Prabowo Subianto dengan tujuan intervensi gizi anak. Selain memberi asupan langsung bagi murid, program ini juga diharapkan mendorong kemandirian pangan lokal melalui dapur Sekolah Pusat Pangan Gizi (SPPG).
“Satu SPPG itu akan mendorong kemandirian pangan lokal dan ketahanan pangan lokal. Setiap bulan butuh 5 ton beras, setara 10 ton gabah kering giling. Jadi ada 2 hektar luas panen yang dimanfaatkan,” jelasnya.
Menurut Dadan, alasan lain BGN menolak bantuan tunai adalah karena skema tersebut sudah tersedia lewat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kementerian Sosial.
Bantuan dalam bentuk uang, kata dia, lebih rentan disalahgunakan. Ia mencontohkan kasus di Sumatera Utara, di mana dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) anak dipakai untuk kebutuhan lain.
Di sisi lain, kritik datang dari DPR. Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP, Charles Honoris, menilai penyajian makanan massal dalam program MBG berisiko menimbulkan masalah kesehatan, selain juga tidak semua anak cocok dengan menu yang sama.
“Bahkan opsi memberikan uang kepada orang tua murid misalnya. Sehingga orang tua murid bisa menyediakan makanan sendiri untuk anak-anaknya,” kata Charles.
Data BGN mencatat, serapan anggaran program MBG mencapai Rp 10,3 triliun. Namun, pelaksanaan di lapangan belum merata, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, sebelumnya menyoroti rendahnya minat pengusaha untuk terlibat di daerah-daerah 3T. Biaya logistik yang tinggi dan keterbatasan infrastruktur membuat program berjalan lambat, terutama di Papua.

0Komentar