APBN 2026 menargetkan pendapatan rata-rata warga Indonesia Rp7,6 juta per bulan dengan menambahkan indikator kesejahteraan baru seperti GNI per kapita. (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu)

Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sepakat menambah tiga indikator kesejahteraan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Kesepakatan itu diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 23 September 2025, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Ketiga indikator baru tersebut adalah Gross National Income (GNI) per kapita, Indeks Kesejahteraan Petani, dan penciptaan lapangan kerja formal. 

Ketua Banggar DPR Said Abdullah menyebut, GNI per kapita ditargetkan mencapai US$ 5.520 per tahun atau sekitar Rp91,99 juta per orang per tahun, setara Rp7,66 juta per bulan. 

“Gross National Income per kapita sebagai indikator pendapatan rata-rata warga negara,” kata Said saat sidang.

Penambahan indikator dilakukan untuk melengkapi tolok ukur kesejahteraan yang selama ini hanya mengandalkan tingkat kemiskinan, kemiskinan ekstrem, pengangguran, dan rasio gini. Pemerintah menilai, ukuran lama belum sepenuhnya menggambarkan kualitas pembangunan.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam pidato Nota Keuangan RAPBN 2026 menjelaskan, pemerintah ingin APBN menjadi instrumen yang lebih nyata dalam mengukur dampak pembangunan. 

“Indeks Kesejahteraan Petani dan penciptaan lapangan kerja formal akan menegaskan bahwa pembangunan tak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan yang merata,” ujarnya.

Selain menambahkan indikator baru, target kesejahteraan klasik tetap dipertahankan. Tingkat kemiskinan dipatok 6,5–7,5 persen, kemiskinan ekstrem 0–0,5 persen, tingkat pengangguran terbuka 4,44–4,96 persen, dan rasio gini 0,377–0,380.

Dalam Nota Keuangan, pemerintah juga menetapkan asumsi makro: pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 2,5 persen, dan nilai tukar rupiah sekitar Rp16.500 per dolar AS. Pendapatan negara diproyeksikan Rp3.153,6 triliun dengan belanja Rp3.842,7 triliun, sehingga defisit APBN 2026 mencapai Rp689,1 triliun.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai langkah ini positif, tetapi mengingatkan soal tantangan teknis. 

“Indeks Kesejahteraan Petani dan ukuran pekerjaan formal butuh metodologi yang jelas dan data yang solid. Tanpa itu, indikator bisa sulit mencerminkan kondisi riil di lapangan,” kata Bhima kepada wartawan, Rabu (24/9).

Ia juga menyoroti potensi disparitas antarwilayah. “Petani di Jawa berbeda situasinya dengan petani di daerah terluar. Indikator harus sensitif pada konteks lokal,” tambahnya.

Untuk mendukung capaian target kesejahteraan, pemerintah mengalokasikan anggaran besar pada beberapa sektor. Ketahanan pangan mendapat Rp164,4 triliun, program Makan Bergizi Gratis Rp335 triliun, pendidikan Rp757,8 triliun, dan kesehatan Rp244 triliun. 

Program penguatan koperasi, dukungan UMKM, dan hilirisasi industri juga diproyeksikan menciptakan lapangan kerja formal yang lebih luas.

Dengan pengesahan UU APBN 2026 oleh DPR, kebijakan fiskal ini resmi menjadi dasar pelaksanaan pembangunan nasional mulai 1 Januari 2026. 

Pemerintah menegaskan, indikator tambahan akan dimonitor bersama indikator klasik untuk menilai sejauh mana pembangunan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.