AFI menyebut waralaba lokal Indonesia hanya berjumlah 120–130 merek, sementara merek asing dari China, Korea Selatan, dan negara lain mendominasi pusat perbelanjaan. (ifra-indonesia.com)

Bisnis waralaba di Indonesia disebut masih didominasi merek asing, terutama dari China, Korea Selatan, Jepang, Belanda, dan Italia, sementara jumlah waralaba lokal yang terdaftar hanya berkisar 120–130 merek. 

Pernyataan ini diungkapkan Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Anang Sukandar, saat pembukaan pameran waralaba internasional ke-24 di Jakarta Convention Center, Senayan, pada Jumat (29/8/2025).

Anang mengungkapkan, dominasi merek asing terlihat jelas di sejumlah pusat perbelanjaan besar. Ia mencontohkan kondisi di Gandaria City, Jakarta Selatan, di mana hampir seluruh gerai makanan dan minuman diisi merek luar negeri. 

“Coba lihat mana perusahaan atau resto Indonesia? Banyak yang dari Korea, Jepang, China, Belanda, Italia. Indonesia cuma satu, Remboelan yang ada,” ujar Anang dalam acara International Franchise, Licence, and Business Concept Expo and Conference (IFRA) 2025.

Menurutnya, situasi tersebut menunjukkan perlunya penguatan sektor waralaba lokal agar mampu bersaing secara lebih merata. 

“Memang kita nggak terlalu happy dengan keadaan kita. Secara estimasi, pasar domestik kita masih dikuasai asing. Kita punya 120-130 waralaba lokal, tapi yang asing tetap lebih banyak,” kata Anang. 

Ia berharap ke depan, 80 persen gerai di pusat perbelanjaan dapat diisi merek lokal dari berbagai daerah, mulai dari Banda Aceh hingga Manado.


Perbedaan data dan persepsi

Menteri Perdagangan Budi Santoso membantah klaim dominasi tersebut. Menurutnya, data resmi menunjukkan jumlah waralaba lokal lebih banyak dibandingkan merek asing. 

Namun, ia mengakui popularitas waralaba asing memang lebih menonjol di mata konsumen.

“Kalau menurut data yang terdaftar, bisnis waralaba lokal masih lebih banyak daripada waralaba asing. Tapi mungkin, ya kadang-kadang kalau berbicara soal kewirausahaan, waralaba asing itu lebih ramai,” kata Budi.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Iqbal Shoffan Shofwan, menambahkan bahwa salah satu faktor utama adalah strategi promosi merek asing yang lebih masif. 

“Banyak pelaku waralaba lokal yang belum mampu mengimbangi kekuatan pemasaran pemain internasional,” ujar Iqbal.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengatakan persebaran waralaba lokal dan asing sangat dipengaruhi kelas pusat perbelanjaan. 

“Waralaba lokal banyak didominasi oleh kelas menengah bawah sehingga tentunya akan sedikit ditemukan di pusat perbelanjaan kelas atas,” ungkapnya.


Dukungan pemerintah untuk waralaba lokal

Pemerintah telah meluncurkan sejumlah program untuk memperkuat posisi waralaba lokal di pasar domestik maupun global. 

Beberapa di antaranya meliputi pemberian booth gratis dalam pameran bagi pelaku usaha yang memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW), program pelatihan dan pendampingan melalui Pendampingan Waralaba Nasional, serta fasilitasi ekspor melalui Indonesia Licensing and Franchise Export (ILFEX) 2025 yang diadakan bersamaan dengan Trade Expo Indonesia (TEI).

Menurut data Kementerian Perdagangan, program business matching dalam sektor waralaba pada semester I 2025 telah menghasilkan transaksi senilai Rp1,4 triliun. 

Pemerintah berharap dukungan tersebut mampu meningkatkan visibilitas merek lokal di pusat-pusat perbelanjaan besar, sekaligus mendorong ekspansi ke luar negeri.

Anang Sukandar menilai tantangan terbesar waralaba lokal terletak pada standardisasi, inovasi, dan pemanfaatan teknologi. 

Menurutnya, banyak waralaba lokal belum memiliki keunikan dan ciri khas yang mampu bersaing dengan merek global. 

Ia mencontohkan kesuksesan Teh Botol Sosro sebagai contoh merek lokal yang berhasil mempertahankan identitas sambil bersaing di pasar internasional.

“Kita butuh dukungan dari pemerintah dan juga keberanian dari pelaku usaha untuk berinovasi. Harapannya, dari Aceh sampai Manado nanti bisa kita lihat brand-brand lokal yang berdiri sejajar dengan yang asing,” ujar Anang.

Pada 2024, industri waralaba Indonesia mencatat omzet Rp143,25 triliun dan menyerap 97.872 tenaga kerja. Angka tersebut menunjukkan potensi besar yang dapat digarap jika pelaku lokal mampu memperkuat strategi bisnisnya. 

Model waralaba dinilai menjadi salah satu cara memulai bisnis yang relatif lebih mudah karena sistem manajemen sudah tersedia, dan biaya awalnya umumnya lebih terjangkau dibanding membangun usaha dari nol.


Jalan panjang menuju kemandirian waralaba

Hingga saat ini, AFI mencatat terdapat sekitar 120–130 merek lokal yang terdaftar, jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan merek asing yang tersebar luas di pusat-pusat belanja. 

Beberapa faktor penyebabnya termasuk rendahnya penetrasi di mal kelas atas, keterbatasan promosi, dan minimnya inovasi yang mampu menarik perhatian pasar.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menyatakan akan terus memperluas fasilitasi, termasuk melalui program inkubasi dan pendampingan bisnis yang menyasar pelaku usaha kecil dan menengah yang berpotensi berkembang menjadi waralaba. 

Sementara itu, APPBI menekankan pentingnya keselarasan antara konsep bisnis dengan segmentasi pasar agar waralaba lokal dapat diterima di berbagai lapisan konsumen.

Ke depan, tantangan yang dihadapi pelaku waralaba lokal tidak hanya soal kuantitas, tetapi juga bagaimana membangun citra merek yang kompetitif di mata masyarakat. 

Dengan potensi pasar domestik yang besar, peluang untuk memperkuat posisi merek lokal tetap terbuka, asalkan diiringi inovasi, standardisasi, dan strategi pemasaran yang tepat.