Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 mencapai 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY), salah satu yang tertinggi di antara negara anggota G20 dan ASEAN. Di balik angka tersebut, sektor informal justru menjadi penopang utama, bukan industri manufaktur atau korporasi besar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga menyumbang 54,25% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tumbuh 4,97% YoY. Lebih dari separuh konsumsi ini datang dari pelaku sektor informal.
Dari total 153,05 juta tenaga kerja nasional per Februari 2025, sebanyak 86,58 juta atau sekitar 60% bekerja di sektor informal. Kontribusi konsumsi dari kelompok ini mencapai 55% dari total nasional.
Chief Economist HSBC Global Research, Pranjul Bhandari, menyebut pekerja sektor informal menjadi “bantalan” pertumbuhan di tengah pelemahan sektor formal.
“Konsumsi pekerja informal meningkat sekitar 7% YoY, terutama karena inflasi turun, hasil panen membaik setelah El Niño, dan adanya stimulus fiskal berupa bantuan sosial,” ujarnya dikutip detikFinance.
Aktivitas ekonomi mikro, seperti pedagang kaki lima, warung makan, buruh harian, hingga tukang sayur keliling, tetap berjalan meski penjualan mobil, barang elektronik, dan output pabrik besar melambat.
Tukang sayur, misalnya, setiap pagi berkeliling menyusuri gang, menyapa pembeli, dan menyediakan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Transaksi yang terlihat sederhana ini berperan besar menjaga laju konsumsi, komponen terbesar pembentuk PDB.
Ekonom Universitas Indonesia, Bhima Yudhistira, menilai daya tahan sektor informal menjadi penentu stabilitas ekonomi domestik.
“Jika konsumsi rumah tangga terjaga melalui aktivitas ekonomi rakyat, maka pertumbuhan nasional dapat tetap positif meski tekanan eksternal tinggi,” katanya.
Selain menopang konsumsi, sektor informal juga menghidupkan rantai pasok pangan. Tukang sayur biasanya mengambil barang dari petani atau pemasok lokal, menjaga permintaan di tingkat hulu.
Tanpa mereka, distribusi bahan pangan segar akan lebih bergantung pada jaringan ritel besar yang belum tentu menjangkau seluruh wilayah.
Namun, di tengah kontribusi besarnya, tantangan tetap membayangi. HSBC memperingatkan adanya kesenjangan output sekitar 7,5% di bawah tren pra-pandemi, menandakan potensi ekonomi yang belum sepenuhnya tergarap.
Di sisi lain, investasi korporasi masih tertahan, dengan perusahaan cenderung menahan modal daripada berekspansi.
Sementara itu, lapangan usaha manufaktur hanya menyumbang 18,67% terhadap PDB dan belum kembali menembus 20% sejak kuartal II-2020.
Kondisi ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih bergantung pada aktivitas sektor informal yang padat karya.
Di balik angka makro yang solid, kehadiran tukang sayur di lingkungan perumahan juga membawa nilai sosial.
Interaksi singkat di pagi hari, obrolan tentang harga cabai atau musim panen, menjadi bagian dari ekosistem sosial yang tidak tergantikan oleh layanan belanja daring maupun pusat perbelanjaan modern.
Keberlanjutan sektor informal, khususnya pedagang bahan pokok, menjadi krusial di tengah persaingan ketat dengan ritel besar dan platform e-commerce.
Pertumbuhan ekonomi 5,12% di kuartal II-2025 adalah pencapaian, tetapi fondasinya banyak bertumpu pada pelaku mikro yang setiap hari menjaga daya beli masyarakat.

0Komentar