![]() |
| Pertemuan Donald Trump dan Vladimir Putin dikonfirmasi akan digelar dalam beberapa hari. Ukraina cemas, Rusia tetap pada tuntutan maksimalis, sementara Trump dianggap terlalu lunak terhadap Kremlin. |
Perang di Ukraina, yang dipicu oleh invasi besar-besaran Rusia pada Februari 2022, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Di wilayah timur Ukraina, Rusia terus maju dengan gigih dan berdarah. Serangan udara mematikan terjadi setiap malam di seluruh negeri, sementara kilang minyak dan fasilitas energi Rusia terus-menerus diserang oleh pesawat nirawak Kyiv.
Dengan latar belakang inilah Kremlin mengonfirmasi bahwa pertemuan antara Donald Trump dan Vladimir Putin sedang dalam tahap perencanaan. Trump, yang kembali tampil aktif dalam diplomasi internasional menjelang pemilu AS 2026, menyatakan niatnya secara terbuka.
"Saya di sini untuk mengakhiri [perang] ini," kata Trump, Rabu lalu.
Namun, dari tiga putaran perundingan antara Rusia dan Ukraina yang digagas Trump sejak Mei hingga Juli, tidak satu pun yang menghasilkan terobosan nyata. Di meja diplomasi, jurang perbedaan tetap menganga lebar.
Dalam dokumen resmi yang dikirim Rusia ke Ukraina pada Juni 2025, posisi Moskow terbaca jelas: maksimalis dan hampir mustahil dipenuhi oleh Kyiv.
Poin utama yang diajukan Rusia dalam perundingan adalah:
Pengakuan Ukraina atas kedaulatan Rusia di Krimea, Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson,
Demiliterisasi penuh angkatan bersenjata Ukraina,
Janji netralitas serta pelarangan kehadiran pasukan asing di wilayah Ukraina,
Penyelenggaraan pemilihan umum baru.
Pengamat politik Rusia, Tatiana Stanovaya, menyebut strategi Kremlin sebagai permainan naratif semata.
"Pihak Rusia dapat membingkai hal ini dalam selusin cara berbeda, menciptakan kesan bahwa Moskow terbuka terhadap konsesi dan negosiasi serius," tulisnya. Namun, posisi inti tetap tidak berubah yaitu Rusia ingin Kyiv menyerah."
Kunjungan Steve Witkoff, utusan Trump, ke Moskow pekan lalu diikuti dengan pernyataan Menlu AS Marco Rubio. Ia mengatakan bahwa AS kini "memahami lebih jelas" syarat-syarat Rusia untuk perdamaian. Namun, pernyataan itu tak dibarengi isyarat perubahan sikap dari Kremlin.
"Kami telah mengumumkan tujuan kami pada bulan Juni. Tidak ada yang berubah," tegas Putin dalam konferensi pers Jumat lalu.
Meski menerima gagasan pertemuan dengan Trump, pernyataan Putin memperjelas bahwa Kremlin tak menunjukkan sinyal pelunakan. Bagi banyak analis, ini menunjukkan bahwa diplomasi ini belum beranjak dari posisi simbolik.
Moskow Cari Celah Lewat Hubungan Pribadi
Apa motif Putin menyambut rencana pertemuan dengan Trump, padahal jalur negosiasi sebelumnya buntu?
Ada dugaan bahwa Moskow ingin menggunakan diplomasi ini untuk meredam gelombang sanksi sekunder dari Washington. Pemerintahan Trump dilaporkan tengah menyusun daftar sanksi terhadap sejumlah mitra dagang utama Rusia, yang akan diumumkan paling cepat Jumat mendatang.
Sementara itu, Kremlin diyakini berharap dapat memanfaatkan hubungan personal antara Trump dan Putin yang terjalin sejak masa jabatan pertama Trump untuk mendorong solusi damai yang menguntungkan Moskow.
Kedekatan pribadi Trump dan Putin kembali disorot menjelang pertemuan mendatang. Pada masa kepresidenannya 2017–2021, Trump beberapa kali dianggap lebih lunak terhadap Rusia dibandingkan pendahulunya.
Ia pernah menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai "diktator", dan menuding Kyiv memprovokasi perang. Dalam wawancara April lalu, Trump mengatakan:
"Dia hanya menuruti saya," merujuk pada Putin.
Meski belakangan Trump lebih berhati-hati dalam menilai Putin, ia tetap enggan menyebut secara terbuka apakah Putin pernah berbohong kepadanya. Momen serupa pernah terjadi saat keduanya bertemu di Helsinki tahun 2018, ketika Trump dikecam karena membela Putin atas dugaan intervensi Rusia dalam Pemilu AS 2016.
Ukraina Khawatir Disingkirkan dari Meja Damai
Di Kyiv, muncul kekhawatiran bahwa pertemuan Trump–Putin akan menghasilkan konsesi yang merugikan Ukraina, apalagi jika dilakukan tanpa keterlibatan langsung Presiden Zelensky.
Trump sempat mengusulkan pertemuan trilateral antara dirinya, Putin, dan Zelensky. Namun, Kremlin menolak dengan alasan kondisi belum memungkinkan.
Anggota parlemen Ukraina, Iryna Herashchenko, menilai pertemuan bilateral justru berisiko besar.
"Tuntutan konsesi teritorial oleh Ukraina tampaknya akan diajukan, dan ketidakhadiran kami di meja perundingan akan sangat berbahaya bagi Kyiv," ujarnya.
Zelensky sendiri menyambut baik peluang diplomasi, tapi menegaskan bahwa Ukraina tak bisa disingkirkan. "Ukraina tidak takut pada pertemuan dan mengharapkan pendekatan berani yang sama dari pihak Rusia," kata Zelensky pekan lalu.
Hingga kini, belum ada sinyal konkret bahwa Putin siap melunak. Jika pun pertemuan trilateral benar digelar, tuntutan Rusia tetap sulit diterima Kyiv.
Analis politik Tatiana Stanovaya menyebut, "Tuntutan Moskow terlalu besar, dan tidak jelas apa yang bisa dicapai hanya dengan mempertemukan Putin dan Zelensky."
Dengan posisi yang kaku di kedua sisi, hasil diplomasi ini berpotensi minim. Bahkan, pertemuan justru bisa memperdalam kebuntuan, terutama jika Kyiv dipaksa menerima formula damai yang bertentangan dengan kepentingannya.
Rencana pertemuan Trump–Putin muncul di tengah eskalasi militer yang belum reda dan kebuntuan diplomasi yang kronis. Sementara Trump mengklaim ingin "mengakhiri perang", realitas geopolitik menunjukkan bahwa upaya ini akan menghadapi tembok keras dari tuntutan maksimalis Kremlin dan kehati-hatian Ukraina.
Di satu sisi, pertemuan ini bisa menjadi momentum diplomatik global. Tapi di sisi lain, tanpa pergeseran posisi substansial dari Moskow, diplomasi ini bisa jadi hanya panggung simbolik yang tak mengubah medan perang di Ukraina timur.

0Komentar