Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti rendahnya gaji guru dan dosen di tengah anggaran pendidikan 2025 yang mencapai Rp724,3 triliun atau 20% dari total APBN. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyoroti ketimpangan dalam sistem pembiayaan pendidikan nasional. Di tengah alokasi anggaran pendidikan yang mencapai Rp724,3 triliun atau 20% dari total belanja negara pada 2025, kesejahteraan guru dan dosen disebutnya masih jauh dari memadai.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia yang digelar di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Kamis, 7 Agustus 2025. 

Di hadapan akademisi dan pelaku industri, Sri Mulyani mengungkapkan kegelisahan atas kondisi para tenaga pendidik di Indonesia yang menurutnya belum mendapatkan penghargaan finansial yang layak.

"Apakah semuanya harus ditanggung oleh negara? Atau bisakah masyarakat ikut berperan mendukung dunia pendidikan?" ujar Sri Mulyani dalam forum tersebut.

Dalam paparannya, Sri Mulyani menjelaskan bahwa anggaran pendidikan tahun ini telah mencakup berbagai skema bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), hingga program digitalisasi sekolah dan makan bergizi gratis.

Namun, ia menegaskan bahwa tingginya anggaran tidak serta-merta menjamin kesejahteraan guru dan dosen yang menjadi tulang punggung pendidikan. Situasi ini, kata dia, menuntut evaluasi lebih dalam terkait struktur dan prioritas dalam alokasi anggaran pendidikan.

“Kalau semua dibiayai oleh negara, apakah sustainable? Ini yang harus kita pikirkan bersama,” kata Sri Mulyani.

Pernyataan itu menjadi sinyal kuat perlunya pembahasan terbuka mengenai model pembiayaan pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Sejak 2009, pemerintah telah mengembangkan Dana Abadi Pendidikan sebagai salah satu instrumen pembiayaan jangka panjang sektor pendidikan. 

Dana tersebut dikelola oleh Kementerian Keuangan dan diharapkan dapat menjaga kesinambungan program pendidikan di tengah tekanan fiskal.

Meski demikian, keberadaan dana abadi dinilai belum sepenuhnya menjawab persoalan struktural dalam kesejahteraan tenaga pendidik. 

Di banyak daerah, gaji guru honorer masih berada di bawah UMR, sementara dosen perguruan tinggi negeri kerap mengeluhkan tunjangan yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir.

Sri Mulyani menekankan pentingnya partisipasi aktif dari masyarakat, dunia usaha, dan institusi non-negara dalam mendukung pembiayaan pendidikan. 

Ia menilai, pendekatan kolaboratif ini bisa menjadi jalan tengah antara keterbatasan fiskal negara dan kebutuhan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Narasi ini bukan hanya soal anggaran, melainkan soal model. Negara memang menjamin anggaran minimal 20% dari APBN untuk pendidikan, tapi ketika anggaran itu belum menyentuh akar persoalan seperti gaji guru dan dosen, perlu ada keberanian untuk mendesain ulang tata kelola dan distribusi pembiayaan.

Meski tidak menyampaikan rincian kebijakan baru, pernyataan Sri Mulyani membuka ruang diskusi tentang masa depan sistem pendidikan Indonesia yang lebih adil dan efisien.

“Ini bukan sekadar angka dalam APBN, tapi menyangkut masa depan generasi,” tandasnya.

Dalam konteks saat ini, wacana pembenahan sistemik menjadi semakin penting. Dengan tekanan fiskal yang meningkat dan prioritas belanja negara yang makin kompleks, isu efisiensi dan ketepatan sasaran dalam anggaran pendidikan menjadi perhatian serius. Terutama ketika kesejahteraan pendidik belum mencerminkan besarnya komitmen fiskal yang telah dikucurkan.