![]() |
| AS mengambil langkah militer setelah ancaman Rusia soal nuklir. Eropa waspada dan pasar keuangan global ikut terdampak. (US Navy/Wikimedia Commons) |
Hanya enam hari menjelang tenggat waktu 8 Agustus 2025 yang ditetapkan Donald Trump untuk gencatan senjata di Ukraina, tensi geopolitik antara Amerika Serikat dan Rusia tidak hanya meningkat tapi juga mulai mengubah wajah keamanan kawasan Eropa.
Instruksi Trump untuk merelokasi dua kapal selam nuklir ke lokasi yang dirahasiakan, namun diyakini dekat dengan perairan Atlantik Utara, telah menimbulkan lonjakan kecemasan dari Baltik hingga Laut Hitam.
“Dia (Medvedev) berbicara tentang nuklir. Ketika kita bicara tentang nuklir, kita harus siap. Dan kita benar-benar siap,” ujar Trump dalam konferensi pers, merujuk pada pernyataan Dmitry Medvedev yang ia nilai sebagai pemicu langsung keputusan militer itu.
Langkah ini bukan saja menjadi respons militer terhadap retorika Moskow, tapi juga sinyal strategis kepada NATO dan dunia bahwa Washington bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
Imbasnya langsung terasa di Eropa, kawasan yang secara geografis paling dekat dengan teater konfrontasi potensial antara dua kekuatan nuklir terbesar dunia.
Perintah Trump dan Respons Rusia yang Semakin Keras
Pada 1 Agustus, Trump mengumumkan perintahnya melalui Truth Social, menyatakan bahwa "ancaman telah dibuat dan kita tidak bisa mengabaikannya."
Pernyataan itu merujuk pada unggahan Medvedev dua hari sebelumnya yang menyebut Trump "bermain dengan ultimatum" dan memperingatkan dunia tentang sistem “Tangan Mati” Rusia sistem nuklir balasan otomatis warisan era Soviet.
Ultimatum Trump sendiri telah berubah secara drastis sejak disampaikan pertama kali pada awal Juli. Dari 50 hari, kini hanya tersisa sepuluh hari.
Jika pada 8 Agustus Rusia belum menyetujui gencatan senjata, Trump mengancam akan memberlakukan tarif 100% terhadap minyak Rusia dan perusahaan-perusahaan yang membelinya, serta “konsekuensi lanjutan”—yang tidak dijelaskan secara rinci namun diiringi oleh gerakan militer nyata.
Sikap diam Vladimir Putin atas ancaman ini, disertai pernyataan bahwa "momentum perang menguntungkan Rusia", memperdalam kekhawatiran bahwa Moskow tidak berniat tunduk pada tekanan eksternal, bahkan jika bersifat nuklir.
Sementara itu, Medvedev yang dulu dikenal sebagai figur moderat justru tampil sebagai ujung tombak retorika keras Rusia. Sejak 2022, pernyataannya makin menyerupai juru bicara resmi Kremlin, meskipun status formalnya bukan pemegang kekuasaan tertinggi.
“Trump harus mengingat bahwa Rusia bukan Israel atau bahkan Iran. Ultimatumnya bisa berakhir menjadi deklarasi perang langsung dengan AS,” tulis Medvedev dalam kanal Telegram resminya.
Kekuatan Kapal Selam AS dan Reaksi Eropa
Kapal selam kelas Ohio yang digerakkan ke “wilayah yang tepat” menurut Trump, bukan sekadar alat angkut misil. Masing-masing kapal ini bisa membawa 24 rudal Trident II D5, dengan jangkauan lebih dari 7.400 kilometer dan kemampuan membawa beberapa hulu ledak termonuklir.
Dalam struktur kekuatan militer AS, kapal-kapal ini merupakan tulang punggung dari "nuclear triad", bersama peluncur darat dan pembom strategis.
“Reposisi dua unit kapal selam bukan untuk menyerang, tapi untuk memperjelas garis merah. Sayangnya, garis ini sekarang lebih kabur daripada sebelumnya,” ujar Hans Kristensen, pakar senjata nuklir dari Federation of American Scientists.
Namun bagi Eropa, simbolisme ini tak cukup menenangkan. Di Paris dan Berlin, diplomat mulai merancang “rencana pengendalian eskalasi” darurat yang melibatkan pengawasan bersama pergerakan militer strategis.
Brussels bahkan memperingatkan adanya "risiko kesalahan kalkulasi" yang dapat membuat Eropa menjadi panggung konfrontasi global berikutnya.
Sementara sebagian negara NATO seperti Polandia dan Lithuania menyambut kerasnya sikap Trump sebagai “langkah preventif”, negara lain seperti Jerman dan Prancis justru khawatir bahwa pergerakan ini akan mengundang respons balasan Moskow yang tidak proporsional.
"Setiap langkah militer di luar kanal komunikasi resmi menambah tekanan pada keseimbangan strategis. Kita perlu menjaga kepala tetap dingin," ujar Josep Borrell, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa.
NATO sendiri saat ini tengah melakukan latihan militer rutin di wilayah Baltik. Namun keputusan AS ini memicu pertanyaan apakah latihan ini masih bersifat defensif atau justru berubah menjadi bagian dari tekanan kolektif terhadap Rusia?
Dampak Terhadap Pasar Energi dan Keuangan Global
Pasar global mulai memberi sinyal waspada. Rubel anjlok 4% dalam dua hari terakhir, sementara indeks RTS Rusia turun 6,1% setelah pengumuman kapal selam AS. Emas melonjak ke level tertinggi sejak Maret 2022, dan permintaan lindung nilai melalui obligasi pemerintah AS meningkat tajam.
Selain pasar modal, dunia energi pun mulai terpengaruh. Kekhawatiran bahwa tarif 100% terhadap minyak Rusia bisa diberlakukan telah membuat harga Brent naik menjadi US$94 per barel, level tertinggi dalam tujuh bulan terakhir.
"Investor memperhitungkan risiko nuklir secara eksplisit untuk pertama kalinya sejak Perang Dingin," ujar Daniel Yergin, analis energi dari IHS Markit.
Langkah-langkah ini juga menimbulkan tekanan terhadap negara-negara yang masih membeli minyak Rusia, termasuk India dan Tiongkok. Jika tarif diberlakukan, rantai pasok energi global akan kembali terguncang seperti pada awal invasi Ukraina tahun 2022.
Di sisi lain, pelaku pasar energi mulai mencari alternatif jalur distribusi dari Teluk dan Afrika untuk menghindari potensi embargo sekunder dari Washington.
Dengan hitungan mundur menuju 8 Agustus tinggal enam hari, prospek deeskalasi masih suram. Trump tidak menunjukkan tanda-tanda melunak, dan Moskow tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.
Di antara dua ekstrem ini, Eropa terus memainkan peran sulit sebagai penyeimbang retorika yang makin brutal.
Diplomasi regional, seperti yang digagas oleh Prancis melalui jalur belakang dengan Turki dan Uni Emirat Arab, belum menunjukkan hasil konkret.
Bahkan upaya utusan khusus Trump, Steve Witkoff, yang dikirim ke Moskow pada 1 Agustus untuk menjajaki gencatan senjata, belum membuahkan respons terbuka dari Kremlin.
"Uni Eropa kini lebih rentan terhadap tekanan eksternal ketimbang satu dekade lalu. Kami terjebak antara Trump yang penuh risiko dan Putin yang diam namun strategis," kata Ulrich Speck, analis kebijakan luar negeri Jerman.

0Komentar