Hamas menolak tuntutan pelucutan senjata dari Israel dan negara-negara Arab sebelum negara Palestina yang merdeka dan berdaulat didirikan. (Mahmoud Hams/AFP/Getty Images)

Hamas kembali menegaskan penolakannya terhadap pelucutan senjata selama belum ada negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Sikap ini membuat perundingan gencatan senjata antara Hamas dan Israel kembali buntu, di tengah tekanan global yang makin meningkat.

Israel tetap bersikeras, penghentian konflik hanya bisa terjadi jika Hamas menyerahkan senjatanya. Otoritas di Tel Aviv menilai, pelucutan kekuatan militer Hamas adalah syarat mutlak untuk menjamin keamanan jangka panjang, terutama pasca-pembebasan para sandera Israel.

"Kami tidak akan menyerahkan hak untuk melawan dan menggunakan senjata kecuali negara Palestina yang merdeka dan berdaulat didirikan," tegas pernyataan resmi Hamas, yang dirilis akhir pekan lalu.


Negosiasi Mandek, Sandera Terancam

Lishay Lavi, istri sandera Omri Miran yang diculik dalam serangan 7 Oktober 2023 di Israel oleh Hamas, duduk di tengah kawat berduri di Tel Aviv guna melakukan protes. (REUTERS)

Mandeknya dialog damai juga dipicu oleh perbedaan sikap atas nasib ratusan sandera Israel yang masih ditahan Hamas sejak konflik meletus Oktober 2023. 

Baru-baru ini, Hamas merilis video sandera Evyatar David yang tampak sangat lemah dan kekurangan nutrisi. Keluarga korban langsung bereaksi.

"Kami memohon kepada pemerintah Israel dan Amerika Serikat untuk menyelamatkannya. Hamas sengaja membuatnya kelaparan sebagai bagian dari kampanye propaganda," kata perwakilan keluarga David dalam konferensi pers.

Menanggapi hal itu, Letjen Eyal Zamir dari militer Israel memperingatkan bahwa "konflik akan terus berlanjut" bila sandera tak dibebaskan. 

Meski demikian, Hamas tetap mengaitkan isu pembebasan dengan pengakuan terhadap negara Palestina dan penghentian agresi militer Israel.


Situasi Kemanusiaan Gaza Memburuk

Warga Palestina yang mengungsi berkumpul untuk mengumpulkan makanan yang dimasak oleh para relawan di Rafah pada tanggal 9 Desember 2023. (Stringer/Picture Alliance/DPA/Getty Images)

Sementara di lapangan, kondisi warga Gaza makin memburuk. Sejak akhir Mei 2025, setidaknya 1.373 warga Palestina dilaporkan tewas saat berusaha mengakses makanan di titik distribusi bantuan, menurut data PBB.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 169 di antaranya meninggal karena kelaparan 93 di antaranya anak-anak. 

Lokasi distribusi utama yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF) bahkan menjadi sasaran serangan, yang menurut Israel merupakan buntut dari kekacauan yang dipicu oleh Hamas.

"Truk bantuan kami terhenti di perbatasan, sementara anak-anak Gaza mati kelaparan," ujar juru bicara UNRWA dalam laporan mingguan.

Israel membantah tuduhan adanya kelaparan, dan menegaskan tidak pernah membatasi bantuan. Namun PBB menyebut krisis saat ini sebagai “kelaparan massal buatan manusia.”


Dunia Internasional Tekan Hamas dan Israel

Negosiasi gencatan senjata turut melibatkan tekanan dari negara-negara besar. Inggris mengirim sinyal keras akan mengakui negara Palestina secara resmi pada September jika Israel tidak menunjukkan kemajuan konkret. 

Sementara itu, Prancis dan Kanada sudah lebih dulu menyatakan dukungan terhadap solusi dua negara.

"Kami akan mengakui negara Palestina jika Israel tidak memenuhi berbagai persyaratan pada September mendatang," tegas pernyataan resmi Pemerintah Inggris.

Di sisi lain, Amerika Serikat, melalui utusannya Steve Witkoff, menyerukan agar upaya damai lebih difokuskan pada penyelamatan sandera dan penghentian kekerasan, bukan pada kesepakatan politik yang disebutnya “parsial dan tidak menyentuh akar masalah.”

Namun klaim Witkoff bahwa Hamas siap dilucuti dibantah mentah-mentah oleh kelompok itu. Hamas menyebutnya sebagai propaganda Israel dan “distorsi terhadap posisi resmi kami.”


Strategi Israel Dianggap "Bom Waktu"


Personel Hamas di Gaza. Israel disebut mendorong pembentukan milisi anti-Hamas sebagai strategi alternatif untuk menghindari operasi darat skala besar. (Anadolu Agency)

Israel sendiri mendapat kritik internal terkait strateginya memperkuat milisi lokal di Gaza. Pemerintah dilaporkan mendukung kelompok bersenjata anti-Hamas yang dipimpin oleh Yasser Abu Shabab, tokoh yang dituding memiliki koneksi dengan jaringan jihadis.

"Netanyahu menciptakan ancaman baru dengan mempersenjatai geng kriminal di Gaza," ujar Yair Golan, oposisi Israel dari Partai Buruh.

Netanyahu berdalih strategi ini bisa mengurangi korban di pihak tentara Israel. Namun para analis menilai langkah tersebut dapat menambah kompleksitas konflik dan menciptakan kekacauan baru pasca-perang.

Dengan kebuntuan diplomatik, memburuknya krisis kemanusiaan, dan ancaman aneksasi sebagian Gaza oleh Israel, solusi dua negara tampak semakin sulit terwujud. 

Hamas bersikukuh tidak akan meletakkan senjata selama pendudukan Israel berlanjut.

"Perlawanan bersenjata adalah hak nasional dan hukum yang sah," kata juru bicara Hamas dalam wawancara dengan media Arab.