Indonesia dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan strategis yang menurunkan tarif ekspor komoditas industri RI ke Negeri Paman Sam dari 32% menjadi 19%, level terendah dibandingkan negara lain seperti Bangladesh (35%) dan Thailand (36%).
Kesepakatan ini tercapai dalam kerangka Perjanjian Perdagangan Timbal Balik, sekaligus membuka akses preferensial bagi mineral kritis asal Indonesia, dengan syarat investor AS turut membangun proyek hilirisasi di tanah air.
Pernyataan resmi Gedung Putih menyebutkan bahwa Indonesia akan menghapus pembatasan ekspor komoditas industri, termasuk mineral kritis, ke AS.
Langkah ini dinilai mencerminkan keterbukaan RI dalam memberikan akses terhadap sumber daya strategis, sepanjang prinsip kesetaraan kerja sama tetap terjaga.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan, keinginan AS untuk mendapatkan pasokan mineral kritis akan difasilitasi, namun harus diikuti dengan masuknya investasi dari perusahaan asal negara tersebut.
“Kemarin, negosiasi tentang tarif, ada keinginan untuk Amerika, mineral kritis. Saya bilang, kita kasih. Sama. Tinggal Bapak datangkan investornya, saya siapkan tambangnya,” kata Bahlil, dikutip Kamis (7/8/2025).
Ia menekankan prinsip equal treatment akan diterapkan kepada semua negara yang ingin berinvestasi di sektor sumber daya alam Indonesia.
“Bisnisnya sama. Equal treatment. Nggak ada beda-beda. Jangankan Amerika, mau Afrika, mau Eropa, mau di mana saja,” ujarnya.
Meski belum mengungkap bentuk investasi spesifik, Bahlil menyebut hilirisasi nikel dalam pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik sebagai salah satu prioritas.
“Saya berjanji kepada Bapak-Ibu semua, kalau ada yang membangun ekosistem baterai mobil, saya sendiri akan mengurusnya tanpa membeda-bedakan dari negara mana pun,” tegasnya.
Proyek hilirisasi yang dimaksud mencakup Ekosistem Baterai Listrik Terintegrasi di Halmahera Timur dan Karawang senilai USD5,9 miliar, melibatkan konsorsium ANTAM-IBC-CBL bersama mitra Tiongkok CATL.
Fasilitas ini akan memiliki kapasitas produksi awal 6,9 GWh yang dapat ditingkatkan menjadi 15 GWh, sekaligus menyerap 35.000 tenaga kerja. Pemerintah menargetkan swasembada energi dalam 5–6 tahun ke depan dari proyek ini.
Kesepakatan perdagangan juga mencakup komitmen investasi AS senilai USD10 miliar untuk fasilitas Carbon Capture Storage (CCS) oleh ExxonMobil dan USD6,5 miliar untuk pusat data di Batam oleh Oracle. Di sektor teknologi, 12 perusahaan AS termasuk Microsoft, AWS, dan Google telah membangun pusat data di Indonesia.
Dampak langsungnya diperkirakan meningkatkan surplus neraca dagang RI-AS yang pada Februari 2025 tercatat USD1,57 miliar, terutama dari ekspor tekstil, alas kaki, dan furnitur.
Namun, sejumlah pakar kebijakan publik mengingatkan agar pemerintah memperkuat daya tawar dalam negosiasi, mengingat Tiongkok kerap menawarkan paket komprehensif yang menguntungkan kedua pihak.
Strategi “package deal” dinilai penting agar Indonesia tidak hanya berfokus pada penurunan tarif, tetapi juga mendapat imbalan investasi dan teknologi yang sepadan.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto menghapus kuota impor untuk kebutuhan pokok, menggantinya dengan kebijakan tarif guna mencegah penyalahgunaan rente.
Langkah ini sejalan dengan upaya menjaga inflasi tetap rendah, yakni 1,87% (yoy) pada Juni 2025, sekaligus mempertahankan surplus perdagangan.

0Komentar