Tradisi pernikahan Indonesia berubah di era digital dengan munculnya undangan elektronik, pernikahan hibrida, dan jasa daring. (Pixabay)

Tradisi pernikahan di Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam satu dekade terakhir seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi digital. Fenomena ini terlihat dari pemanfaatan platform daring untuk persiapan acara, undangan elektronik, hingga siaran langsung resepsi yang memungkinkan kerabat di luar kota atau luar negeri tetap hadir secara virtual. 

Perubahan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai pergeseran nilai budaya serta dampaknya terhadap industri pernikahan konvensional.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Pernikahan Indonesia (AIPI) tahun 2024, sekitar 65% pasangan muda di kota-kota besar kini memilih menggunakan jasa perencana pernikahan berbasis aplikasi daring. 

Melalui platform tersebut, mereka dapat memilih vendor, mengatur anggaran, hingga memesan gaun pengantin secara virtual. Model ini dinilai lebih praktis dan hemat waktu, terutama bagi pasangan yang memiliki kesibukan tinggi.

“Kalau dulu persiapan pernikahan membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan banyak pertemuan fisik, sekarang cukup melalui aplikasi. Semua bisa diatur dari rumah,” kata Ketua AIPI, Rina Kusuma, saat diwawancarai, Senin (25/8).

Perubahan tersebut juga berdampak pada keberlangsungan usaha tradisional, seperti percetakan undangan fisik dan jasa sewa gedung pernikahan yang hanya mengandalkan promosi konvensional. Beberapa pelaku usaha mengaku harus beradaptasi agar tetap relevan di tengah transformasi digital ini.


Berpindah ke E-Invitation

Salah satu aspek yang mengalami transformasi paling menonjol adalah penggunaan undangan pernikahan elektronik atau e-invitation. Menurut survei yang sama, sebanyak 72% pasangan di bawah usia 35 tahun memilih menggunakan undangan digital, baik melalui media sosial maupun aplikasi pesan instan. 

Selain dinilai lebih praktis, alasan lain yang mendasari keputusan tersebut adalah kesadaran lingkungan.

“Undangan digital lebih hemat biaya dan tidak menghasilkan limbah kertas. Namun, bagi sebagian keluarga, undangan fisik masih dianggap lebih sopan, terutama di daerah yang menjunjung tinggi adat,” ujar Siti Hartati, peneliti budaya dari Universitas Indonesia.

Meskipun demikian, pergeseran ke arah digital tidak selalu berjalan mulus. Beberapa tamu undangan, khususnya yang berusia lanjut, mengaku kesulitan menerima atau membuka undangan elektronik karena keterbatasan akses dan literasi teknologi.

Tren lain yang berkembang pesat adalah konsep pernikahan hibrida, yakni menggabungkan kehadiran fisik dengan partisipasi daring. Sejak pandemi COVID-19, layanan siaran langsung pernikahan melalui media sosial atau platform konferensi video menjadi populer, terutama bagi pasangan yang memiliki kerabat di luar negeri.

“Model hibrida ini awalnya solusi darurat saat pandemi, tetapi sekarang menjadi pilihan permanen karena dapat menghemat biaya perjalanan tamu dan tetap mempererat silaturahmi,” kata Fadli Rahman, seorang penyedia jasa live streaming pernikahan di Jakarta.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan peningkatan permintaan jasa siaran langsung pernikahan mencapai 40% pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. 

Selain itu, penggunaan media sosial untuk membagikan momen pernikahan juga menjadi bagian dari strategi dokumentasi yang dianggap lebih modern dan interaktif.


Antara praktis dan pelestarian budaya

Meskipun digitalisasi membawa kemudahan, sejumlah pakar budaya mengingatkan adanya risiko bergesernya nilai-nilai tradisi yang selama ini melekat dalam prosesi pernikahan Indonesia. 

Dalam beberapa kasus, tahapan adat dipersingkat atau bahkan dihilangkan demi menyesuaikan dengan konsep acara yang lebih ringkas dan modern.

“Pernikahan bukan hanya acara seremonial, tetapi juga bagian dari warisan budaya yang memiliki makna mendalam. Jika semua serba praktis, dikhawatirkan generasi mendatang akan kehilangan pemahaman terhadap simbol-simbol adat,” kata Prof. Bambang Wiratama, antropolog dari Universitas Gadjah Mada.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan mendukung pemanfaatan teknologi dalam pernikahan selama tidak menghilangkan esensi budaya. 

“Kami mendorong inovasi yang tetap menghormati kearifan lokal, misalnya dengan mengintegrasikan prosesi adat dalam format digital,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan, Sri Haryati.


Dampak pada sektor ekonomi

Perubahan pola pernikahan juga memengaruhi perekonomian. Industri yang sebelumnya mengandalkan jasa konvensional kini harus beradaptasi dengan model bisnis digital. 

Menurut laporan AIPI, pendapatan dari sektor undangan fisik menurun hingga 35% dalam dua tahun terakhir, sementara penyedia jasa digital meningkat hampir dua kali lipat.

Sejumlah perusahaan rintisan (startup) di bidang layanan pernikahan digital bahkan mendapatkan pendanaan besar dari investor dalam negeri dan asing. Hal ini menunjukkan adanya peluang pertumbuhan industri baru yang berbasis teknologi.

Ke depan, para pengamat memprediksi bahwa pernikahan digital tidak sepenuhnya akan menggantikan tradisi. Sebaliknya, model campuran yang menggabungkan aspek modern dan adat lokal dinilai lebih berpotensi diterima masyarakat secara luas.

“Pernikahan akan tetap menjadi peristiwa sosial yang sarat makna, tetapi cara kita merayakannya akan terus beradaptasi dengan perkembangan zaman,” ujar Prof. Bambang.