Pemerintah klaim ekonomi tumbuh 5,12% di kuartal II/2025, namun ekonom menilai ada kejanggalan dalam data BPS. Investasi capai Rp 942,9 triliun, lebih dari 1,2 juta lapangan kerja terbuka.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 yang dilaporkan tumbuh 5,12% menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Angka yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) itu dianggap tak sepenuhnya sejalan dengan indikator ekonomi lain yang berkembang sepanjang periode April–Juni 2025.

Di tengah kritik yang menguat, pemerintah memastikan bahwa data yang disampaikan BPS tetap kredibel dan dihitung secara akurat. 

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa tidak ada manipulasi dalam pelaporan angka pertumbuhan tersebut.

"Pemerintah itu jujur-jujur saja mengeluarkan data. Kalau turun dibilang turun, kalau naik dibilang naik," tegas Hasan di Jakarta, Kamis (7/8).

Ia mencontohkan bahwa pada kuartal IV/2024, di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ekonomi hanya tumbuh 5,02%. 

Lalu pada kuartal I/2025 bahkan turun lagi ke 4,87%. Kedua data tersebut dirilis oleh BPS dalam pemerintahan yang sama, menurutnya menjadi bukti bahwa tidak ada upaya membesar-besarkan capaian.

Pemerintah menyoroti bahwa banyak pihak terlalu fokus pada konsumsi dan belanja negara, sementara capaian investasi tidak mendapat perhatian serupa. 

Hasan mengungkapkan bahwa hingga pertengahan 2025, realisasi investasi sudah menyentuh Rp 942,9 triliun atau hampir 50% dari target tahunan yang dipatok Rp 1.900 triliun.

"Capaian investasi ini sudah membuka lebih dari 1,2 juta lapangan kerja, tepatnya 1.259.868," jelas Hasan.

Pertumbuhan signifikan juga terjadi di sektor industri pengolahan yang naik hingga 5,6%. Pemerintah mengklaim bahwa data itu turut mencerminkan pemulihan dan dinamika positif di sektor manufaktur nasional.

Di sisi lain, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyampaikan keraguan atas keakuratan data pertumbuhan yang dirilis BPS. Ia menilai ada sejumlah kejanggalan yang patut dipertanyakan.

Pertama, Nailul mempertanyakan mengapa pertumbuhan ekonomi kuartal II justru lebih tinggi dari kuartal I, padahal triwulan pertama biasanya terdongkrak oleh momen Ramadan dan Idulfitri. Menurut data resmi, kuartal I/2025 hanya tumbuh 4,87%.

"Triwulan I saja hanya 4,87%. Jadi cukup janggal ketika triwulan II mencapai 5,12%," ujar Nailul.

Kedua, ia menyoroti sektor industri pengolahan yang disebut tumbuh 5,68%, padahal Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia selama April–Juni 2025 tercatat berada di bawah level 50 batas yang menandakan kontraksi.

Ketiga, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya naik tipis dari 4,95% di kuartal I menjadi 4,97% di kuartal II juga dinilai tidak cukup kuat untuk mendorong lonjakan ekonomi secara keseluruhan. Menurutnya, tidak ada peristiwa atau momentum khusus yang dapat menjelaskan lonjakan tersebut.

"Tidak ada momen yang membuat konsumsi rumah tangga meningkat tajam di kuartal II," tambahnya.

Perbedaan pandangan antara pemerintah dan ekonom menandai tarik menarik narasi seputar pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan transisi pemerintahan. 

Di satu sisi, pemerintah berpegang pada indikator resmi BPS yang menyatakan pertumbuhan positif disertai masuknya investasi besar-besaran. Namun di sisi lain, sebagian ekonom dan analis melihat ketidaksinkronan antara data makro dan indikator lapangan.

Meski demikian, hingga kini tidak ada klarifikasi tambahan dari BPS mengenai metodologi maupun justifikasi atas angka-angka yang diragukan tersebut. Di tengah sorotan ini, kepercayaan terhadap data statistik resmi kembali menjadi perbincangan penting dalam diskursus publik dan kebijakan.