Rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen di Kabupaten Pati berbuntut panjang. Meski Bupati Sudewo telah menyampaikan permintaan maaf dan menjanjikan evaluasi, warga bersikeras akan turun ke jalan pada 13 Agustus 2025. Mereka menilai janji sang bupati tak lagi bisa dipercaya.
“Kami sudah tidak mau dipimpin oleh Sudewo. Pak Sudewo belum layak menjadi Bupati Pati,” tegas Koordinator Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, Teguh Istiyanto. “Kalau sudah belajar, silakan menjadi bupati. Tapi sekarang belum layak.”
Pernyataan itu muncul setelah video permintaan maaf Sudewo beredar luas di media sosial dan grup-grup warga. Dalam video tersebut, Sudewo menyampaikan bahwa kenaikan PBB sebesar 250 persen adalah batas maksimal, bukan kebijakan menyeluruh. Ia pun membuka kemungkinan untuk meninjau ulang angka tersebut.
“Soal kenaikan 250 persen, itu tidak semuanya. Itu maksimal, itu maksudnya. Namun demikian, kalau ada yang menuntut supaya yang sampai 250 persen itu diturunkan, akan saya tinjau ulang,” ujar Sudewo dalam pernyataannya, 7 Agustus 2025.
Namun respons masyarakat justru makin keras. Mereka menilai permintaan maaf tersebut tidak tulus, terutama karena disampaikan lewat media, bukan dalam forum terbuka.
“Kami menanggapi statemen yang menurunkan pajak itu kami tidak percaya. Statemen membatalkan kenaikan pajak juga tidak kami percaya. Karena itu hanya statemen,” tegas Teguh.
Pemerintah Kabupaten Pati berdalih bahwa PBB belum pernah naik selama 14 tahun terakhir. Namun narasi itu langsung dibantah warga. Mereka menyebut ada kenaikan pajak sebesar 20 persen pada 2022, yang juga telah memberatkan.
“Tahun 2022 sudah mengalami kenaikan pajak. Jadi statemen 14 tahun tidak mengalami kenaikan itu bohong. Kami sudah tidak percaya omongan dia,” ujar Teguh.
Tak hanya soal angka, warga juga menilai kebijakan ini kontradiktif dengan janji kampanye Sudewo. Saat Pilkada, ia disebut berkomitmen tidak akan membebani rakyat dengan pajak. Namun hanya beberapa bulan setelah menjabat, kebijakan ini justru memicu krisis kepercayaan.
Di tengah gejolak ini, kebijakan pengeluaran anggaran daerah juga jadi sorotan. Beberapa tokoh masyarakat mempertanyakan prioritas Pemkab Pati, termasuk alokasi anggaran untuk proyek videotron senilai Rp1,39 miliar dan renovasi alun-alun kota.
“Kami rakyat kecil dibebani PBB yang naik berkali lipat, tapi pemerintah malah menganggarkan proyek yang tidak mendesak,” ujar Supriyono, salah satu eks pendukung Sudewo yang kini berbalik arah.
Sejumlah warga bahkan mengaku tagihan PBB mereka naik hingga 300–1.000 persen. Ada yang sebelumnya membayar Rp29.000, kini menjadi Rp92.000. Yang lain menyebut tagihan naik dari Rp157.000 menjadi Rp1,7 juta.
Meski Sudewo mengklaim bahwa sebagian besar kenaikan berada di kisaran 50–100 persen, narasi tersebut tak mampu membendung kemarahan warga.
Hingga pekan pertama Agustus, Pemkab Pati mencatat realisasi pembayaran PBB sudah mendekati 50 persen. Namun angka itu tak serta merta mencerminkan penerimaan masyarakat.
Insiden kericuhan juga terjadi saat perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Pati. Ketika Sudewo hadir di kirab HUT, warga menyambutnya dengan sorakan “huu” sebagai ekspresi protes terbuka. Beberapa bahkan menyuarakan tuntutan agar ia mundur dari jabatannya.
Tegangan sempat meningkat ketika Satpol PP dilaporkan menyita logistik aksi dari tangan warga. Pemkab Pati mengklarifikasi bahwa barang-barang tersebut hanya “dipindahkan” agar tidak mengganggu acara pemerintahan. Namun tindakan itu justru memperkeruh situasi.
Polemik ini menarik perhatian pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menginstruksikan Inspektorat Jenderal untuk memeriksa dasar kebijakan kenaikan PBB di Pati. Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyerukan agar Bupati Sudewo segera membuka ruang dialog dengan masyarakat.
“Bupati diminta menyesuaikan kebijakan dengan kemampuan masyarakat. Dialog itu penting agar kebijakan tidak memicu gejolak yang lebih luas,” ujar pejabat provinsi, yang enggan disebut namanya.
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu telah mengantongi izin untuk menggelar aksi lanjutan pada 13 Agustus 2025. Aksi ini akan menjadi demonstrasi terbesar sejak masa jabatan Sudewo dimulai. Selain pembatalan kenaikan PBB, tuntutan kini bergeser menjadi desakan agar sang bupati mundur dari jabatan.

0Komentar