Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, akhirnya angkat bicara soal pernyataannya yang sempat viral dan memicu kegaduhan publik.
Pernyataan yang menyebut “semua tanah adalah milik negara, rakyat hanya mengelola” tersebut menuai kritik luas karena dianggap menghapuskan hak milik warga atas tanah mereka.
Dalam video klarifikasi resmi yang diunggah di akun Instagram Kementerian ATR/BPN, Nusron menjelaskan bahwa pernyataannya tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan kepemilikan tanah oleh masyarakat.
Ia menegaskan bahwa yang dimaksud adalah fungsi negara dalam mengatur hubungan hukum kepemilikan tanah.
“Negara bertugas memastikan kepastian hukum kepemilikan tanah, bukan berarti seluruh tanah dimiliki negara,” ujar Nusron.
Permintaan maaf disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahpahaman yang muncul.
“Saya mohon maaf jika pernyataan saya sebelumnya menimbulkan kebingungan atau kekhawatiran,” tambahnya.
Pernyataan ini diharapkan meredam spekulasi yang berkembang di media sosial soal potensi pengambilalihan hak milik rakyat oleh pemerintah.
Fokus utama pemerintah, kata Nusron, adalah mengoptimalkan pengelolaan tanah yang selama ini tidak produktif atau telantar.
Sebanyak 40 juta hektar lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dianggap belum termanfaatkan maksimal menjadi sasaran prioritas.
“Kami ingin memanfaatkan aset tanah ini untuk kepentingan publik sesuai amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat,” jelasnya.
Kementerian ATR/BPN mencatat bahwa sekitar 25% dari total luas wilayah daratan Indonesia terdiri dari tanah dengan status non-produktif, yang selama ini berpotensi menjadi sumber konflik agraria dan kerugian ekonomi.
Dengan penertiban dan pengelolaan yang lebih optimal, pemerintah menargetkan peningkatan kontribusi sektor agraria terhadap PDB nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Klarifikasi Nusron ini muncul setelah cuplikan pernyataannya beredar tanpa konteks lengkap di media sosial, memicu reaksi negatif terutama dari kelompok masyarakat pemilik lahan dan aktivis agraria.
Mereka khawatir pernyataan itu menjadi dasar kebijakan pengambilalihan lahan warga yang selama ini menjadi isu sensitif di Indonesia.
Meski demikian, pemerintah menegaskan tidak ada rencana untuk mencabut hak milik atas tanah yang sudah bersertifikat. Sertifikat Hak Milik (SHM) tetap menjadi bukti kepemilikan sah dan dilindungi hukum.
Langkah pengelolaan tanah lebih diarahkan pada lahan yang belum dimanfaatkan secara efektif dan tanah negara yang memang belum dikuasai masyarakat.
Menanggapi kontroversi ini, sejumlah ekonom dan pengamat kebijakan agraria mengingatkan pentingnya komunikasi yang lebih jelas dan transparan dari pemerintah.
“Ketidakjelasan penyampaian bisa memicu ketidakpercayaan publik yang justru memperlambat reformasi agraria yang sebenarnya diperlukan,” ujar seorang analis kebijakan agraria.
Dengan klarifikasi ini, Nusron berharap masyarakat dapat memahami kebijakan pemerintah yang berupaya menyeimbangkan kepastian hukum, perlindungan hak milik, dan pengelolaan sumber daya agraria demi kemakmuran bersama.
Namun, dinamika pengelolaan lahan dan tanah akan tetap menjadi isu sentral yang perlu pengawasan ketat dan dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat.

0Komentar