Film animasi Merah Putih: One for All berbiaya Rp6 miliar menuai kritik publik soal kualitas visual dan strategi produksi sebelum rilis 14 Agustus 2025. (21Cineplex.com)

Film animasi Merah Putih, One for All produksi Perfiki Kreasindo, bagian dari Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, dijadwalkan tayang menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. 

Dengan anggaran produksi sekitar Rp6,7 miliar untuk durasi 70 menit, film ini disutradarai oleh Endiarto dan Bintang Takari, serta diproduseri Toto Soegriwo.

Meski mengusung pesan kebhinekaan melalui kisah delapan anak dari suku berbeda yang mencari bendera pusaka menjelang upacara kemerdekaan, film ini menuai kritik sebelum resmi tayang. Sorotan publik terutama tertuju pada kualitas visual yang dianggap tidak sebanding dengan biaya produksi yang diumumkan.

Trailer yang dirilis memicu perdebatan di media sosial. Banyak pengguna menilai animasinya kaku dan desain karakternya sederhana untuk ukuran film miliaran rupiah. 

Sebagian membandingkannya dengan animasi lokal lain, seperti Jumbo atau Battle of Surabaya, yang dinilai lebih matang dari sisi estetika dan teknik.

Komentar kritis juga datang dari sutradara Hanung Bramantyo. Lewat unggahan di media sosial pada 10 Agustus 2025, ia mengatakan bahwa biaya Rp7 miliar, setelah dipotong pajak sekitar 13%, menyisakan sekitar Rp6 miliar jumlah yang tidak cukup untuk menghasilkan animasi berkualitas bioskop.

“Sekali pun tidak dikorupsi, hasilnya tetap jelek. Budget Rp6–7 miliar baru cukup untuk previsualization alias storyboard bergerak, bukan produk final,” ujar Hanung.

Ia menambahkan, produksi animasi berkualitas memerlukan anggaran Rp30–40 miliar dan waktu pengerjaan 4–5 tahun. 

Menurutnya, merilis karya pada tahap awal seperti ini ibarat menayangkan rumah yang belum diplester, dan ia mendorong agar film ditunda penayangannya.

Di media sosial, kritik juga menyentuh aspek narasi. Beberapa warganet menduga film ini dirilis terburu-buru untuk mengimbangi tren viral bendera bajak laut dari serial One Piece. 

“Bilang saja ini film buru-buru dirilis buat meng-counter maraknya bendera One Piece,” tulis salah satu komentar yang mendapat dukungan luas.

Produser Eksekutif Sonny Pudjisasono mengakui tantangan besar yang dihadapi timnya. Menurutnya, sebagian besar tenaga kerja yang terlibat adalah animator lokal yang masih dalam tahap pengembangan keterampilan.

Perfiki Kreasindo, yang menaungi proyek ini, memiliki misi mengangkat karya anak bangsa melalui jalur produksi independen. Namun, ketiadaan dukungan dana besar dari investor swasta maupun studio besar membuat mereka harus menyesuaikan skala produksi.

Keterbatasan ini berpengaruh pada setiap tahap pengerjaan dari rigging karakter, detail texture, hingga komposisi latar. Dalam industri animasi global, proses serupa biasanya memerlukan ratusan tenaga ahli dan infrastruktur komputasi berskala besar.

Seorang animator yang enggan disebut namanya menyebut bahwa pengerjaan film dilakukan dalam waktu kurang dari dua tahun, “Untuk standar industri, itu termasuk cepat, apalagi untuk proyek dengan ambisi nasional.”

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam produksi animasi, tetapi sedikit yang mencapai standar internasional. 

Battle of Surabaya (2015) dipuji karena riset sejarah dan kualitas visualnya, meski produksinya memakan waktu sekitar empat tahun. Sementara Jumbo berhasil mendapat distribusi global berkat pendekatan visual modern dan alur cerita universal.

Menurut data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) 2023, subsektor animasi menyumbang sekitar 0,47% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif. Namun, 78% studio animasi di Indonesia adalah skala kecil dengan tim di bawah 20 orang.

Pakar industri animasi dari Universitas Multimedia Nusantara, Rulianto Santoso, mengatakan bahwa hambatan utama animasi lokal adalah keterbatasan dana, akses teknologi, dan distribusi.

“Produksi animasi itu padat modal dan tenaga. Tanpa ekosistem pendukung, hasilnya akan sulit bersaing secara teknis, meskipun ide dan ceritanya kuat,” jelas Rulianto.

Pemilihan jadwal rilis menjelang peringatan kemerdekaan dianggap sebagian pengamat sebagai faktor yang membuat produksi terkesan terburu-buru. Target waktu yang ketat sering kali membuat tim kreatif harus memangkas tahapan penting seperti rendering final atau post-processing.

Kritikus film dari Lembaga Perfilman Nasional, Sinta Maharani, menilai bahwa proyek ini seharusnya dijadikan ajang pembelajaran.

“Ketika bicara film nasional yang mengusung tema besar seperti persatuan, kita perlu memastikan kualitasnya konsisten. Jika dipaksakan demi momen, risiko penerimaan publik bisa negatif,” kata Sinta.

Meski demikian, ia mengakui bahwa keberanian merilis film animasi dengan tema kebangsaan layak diapresiasi, mengingat masih sedikit karya lokal yang mencoba masuk ke ranah ini.

Kritik yang muncul pada Merah Putih, One for All menyoroti gap antara ambisi dan kapasitas produksi. Beberapa pengamat menilai, untuk mencapai kualitas internasional, Indonesia memerlukan investasi yang lebih besar di bidang animasi, penguatan kurikulum pendidikan animasi, dan kolaborasi dengan studio luar negeri.

Pemerintah telah menginisiasi sejumlah program inkubasi kreatif, namun masih terbatas pada dukungan pelatihan dan festival. Skema pendanaan film animasi berskala besar belum menjadi prioritas.

Hanung Bramantyo sendiri menutup komentarnya dengan pesan konstruktif. “Kalau memang ingin punya film animasi nasional yang membanggakan, siapkan waktunya, siapkan uangnya, dan bangun tim yang kuat. Jangan terburu-buru.”

Film ini direncanakan tetap tayang sesuai jadwal, meski hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pihak produksi terkait kemungkinan revisi atau penundaan.