Kebijakan tarif Donald Trump kembali mengguncang Asia. Dari manufaktur teknologi hingga e-commerce, kawasan ini kini berubah dari mesin pertumbuhan global menjadi korban dalam strategi proteksionisme AS. (Ilustrasi: Apluswire/Hra)

Harga iPhone melonjak, ekspor Indonesia tergerus miliaran dolar, dan platform e-commerce seperti Shein dan Temu kehilangan pijakan bisnis. Semua bermula dari satu keputusan politik—tarif dagang baru dari Donald Trump.

Dalam manuver dagang agresif yang membakar kembali semangat proteksionisme, Trump pada akhir Juli 2025 menandatangani paket tarif baru yang menyasar 69 negara. 

Besarannya bervariasi antara 10% hingga 41%, termasuk tarif baru terhadap chip Taiwan (20%), impor India (25%), dan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam (20%) dan Kamboja (19%), yang sebelumnya terancam tarif 36–49%. 

China mendapat pemotongan dari tarif maksimum 145% ke 10% baseline, dengan tambahan 20% untuk fentanyl. Namun, target tarif kini melebar ke Brasil (50%) dan Kanada (35%) dua negara yang sebelumnya tidak masuk daftar.


Negosiasi Gagal, Tarif Jadi Senjata

Ketika pertama kali meluncurkan tarif dagang pada 2018, Trump menyebut misinya sebagai usaha memulihkan industri dalam negeri, memperkecil defisit perdagangan, dan menciptakan persaingan yang adil untuk pelaku usaha AS. Kini, pendekatan itu bergeser tajam dari meja perundingan ke lembar pungutan.

Kebijakan tarif yang diluncurkan pada 2018 jadi awal perubahan besar arah perdagangan global. Kini, strategi itu berubah jadi alat tekanan ekonomi. (Instagram/@whitehouse)

Targetnya pun makin luas. Tak hanya China, tetapi juga Vietnam, Thailand, Taiwan, India, Korea Selatan, Jepang, Brasil, dan Kanada ikut terkena tarif tinggi. 

Analisis dari Tax Foundation memperkirakan kebijakan ini memangkas Produk Domestik Bruto AS sekitar 0,2% dan menghapus 142.000 lapangan kerja penuh waktu. Investasi swasta diperkirakan ikut melambat seiring ketidakpastian berkepanjangan.


Apple dan Nvidia di Tengah Badai Tarif

Apple menjadi sorotan utama dalam badai tarif ini. Meski laporan keuangan resminya belum mengonfirmasi kerugian US$800 juta seperti yang beredar, analis memperkirakan harga iPhone bisa melonjak 43% akibat tarif 54% dari China dan 46% dari Vietnam. 

Apple kini mempercepat diversifikasi produksi ke India (dengan target 15–20% pada 2026) dan Vietnam, meskipun masih dihadapkan pada bottleneck dalam rantai pasok.

Harga iPhone 16 diperkirakan bisa mencapai US$1.045–US$1.285 untuk model dasar jika tarif 25% diterapkan penuh. Apple juga menginvestasikan US$1 miliar di India untuk memperkuat jalur produksi di Asia Selatan.

Nvidia pun tak luput dari tekanan. Meskipun CEO Jensen Huang menyatakan bahwa “Pengaruh tarif ini tidak akan terlalu berdampak besar.” 

Saham perusahaan sempat merosot setelah pengenaan tarif terhadap chip Taiwan. Volatilitas pasar tetap tinggi meski analis masih memberi prospek cerah karena dominasi Nvidia dalam sektor AI.


Strategi “China+1” dan Perubahan Lanskap Rantai Pasok

Strategi perusahaan AS untuk memindahkan produksi dari China ke negara tetangga, populer dengan istilah “China+1”, kini mengalami tekanan. Vietnam (20%) dan India (25%) tetap terkena tarif, namun perusahaan besar seperti Apple dan Walmart telah mempercepat relokasi ke wilayah ini.

Tarif hingga 40% untuk transshipment memaksa banyak perusahaan mengubah strategi globalnya, beralih ke model nearshoring demi efisiensi. (SAPX Express)

Lebih jauh, barang yang diproses lewat negara ketiga (transshipment) dikenai tarif hingga 40%. Langkah ini mendorong perusahaan mengadopsi strategi "nearshoring" seperti yang dilakukan Ford ke Meksiko, untuk menghindari tarif lintas benua dan mempersingkat rantai logistik.

Langkah paling kontroversial adalah rencana penghapusan aturan “de minimis” pengecualian bea masuk bagi paket di bawah US$800 yang dikabarkan mulai berlaku 29 Agustus 2025. Namun, hingga kini belum ada dokumen resmi yang mengonfirmasi hal tersebut.

Platform seperti Shein, Temu, Etsy, dan eBay sangat bergantung pada skema ini. Tanpa fasilitas ini, model bisnis mereka berisiko terganggu. 

Laporan penurunan pengunjung Temu sebesar 58% dan kenaikan harga 20–30% belum tercatat dalam data resmi. Namun, analis memperkirakan tekanan signifikan pada daya saing e-commerce lintas negara.

“Banyak penjual Etsy di AS sangat bergantung pada aturan de minimis untuk aktivitas ekspor-impor mereka, karena itulah yang menopang keberlangsungan usaha mereka,” tulis perwakilan Etsy dalam surat kepada Bea Cukai AS (CBP).


Dampak pada Indonesia

Indonesia termasuk negara yang mengalami revisi tarif ke arah yang lebih ringan. Setelah negosiasi, tarif produk Indonesia diturunkan dari 32% ke 19%. 

Meskipun ekspor produk padat karya seperti tekstil dan alas kaki ke AS diperkirakan tetap turun hingga US$1,2 miliar, komoditas seperti tembaga justru mendapatkan tarif 0%.

Melemahnya rupiah dan turunnya throughput pelabuhan menekan logistik RI, namun neraca dagang dengan AS tetap surplus di tengah tekanan tarif. (Samudra.id)

Industri logistik terkena imbas. Tanjung Priok melaporkan penurunan throughput, dan rupiah melemah 10–11%. Meski begitu, neraca dagang RI–AS masih mencatatkan surplus. 

“Tarif berdampak pada biaya produksi dan daya saing produk ekspor, terutama di tekstil, alas kaki, dan elektronik,” kata Shinta, analis dari Indonesia Economic Forum.

Pemerintah Indonesia kini melobi ulang agar tarif yang lebih ringan juga diberlakukan pada sektor-sektor unggulan lain.


Dampak pada Pasar Global

Sentimen pasar global langsung negatif saat tarif diumumkan. Nasdaq sempat anjlok 2,3%, dan indeks Nikkei turun 7,8% meski kemudian stabil. 

Pasar Asia memerah, dan aksi jual meningkat tajam dalam pekan pertama. Namun, pendapatan tarif AS justru meningkat tajam: mencapai US$124 miliar hingga Juli 2025 dan diproyeksikan menembus US$300 miliar akhir tahun.

Di banyak sektor, ketidakpastian akibat tarif membuat pelaku usaha menahan ekspansi. Distorsi harga membuat produk lokal tak otomatis kompetitif. Akibatnya, banyak produsen enggan memperbesar kapasitas.

“Tarif yang tinggi dan perubahan aturan yang tiba-tiba membuat masa depan perdagangan dan produksi makin sulit dan mahal bagi perusahaan AS,” ungkap Steve Lamar, CEO American Apparel & Footwear Association.

Empat tahun sejak perang dagang pertama dimulai, dunia kini memasuki fase baru dengan tarif lebih luas dan risiko lebih kompleks. 

Perusahaan AS terbebani biaya, konsumen kehilangan akses barang murah, dan negara-negara Asia kehilangan momentum ekspor. Rantai pasok global pun berada dalam ketidakpastian jangka panjang.

Jika tren ini berlanjut, proteksionisme bisa kembali menjadi norma. Negara-negara akan berlomba menarik rantai pasok ke dalam negeri, dan kerja sama ekonomi internasional bisa berubah arah.