Penjualan sepeda mewah di Indonesia anjlok hingga 70% sejak pandemi usai, tergeser tren olahraga baru seperti padel.  

Penjualan sepeda kelas atas di Indonesia anjlok hingga 70 persen sejak puncak kejayaannya pada masa pandemi 2020–2021. Fenomena ini terjadi seiring pergeseran minat masyarakat terhadap olahraga baru seperti padel, yang kini populer di kalangan menengah ke atas di kota-kota besar.

Ketua Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo), Eko Wibowo, membenarkan kondisi tersebut. 

“Sebenarnya tahun paling berat itu tahun kemarin sama tahun ini. Volumenya luar biasa turun jauh. Kalau dihitung mulai dari tahun 2021, turunnya sudah 70%. Kan tren bersepeda itu naik tinggi pas pandemi, 2020 itu, dari situ sudah turun hingga 70%,” ujarnya dikutip dari detikcom, Jumat (8/8/2025).

Tiga tahun lalu, jalanan kota besar dipenuhi pesepeda dari berbagai latar belakang. Sepeda lipat, sepeda gunung, hingga road bike kelas atas menjadi komoditas yang sulit diperoleh.

Banyak pembeli rela memesan berbulan-bulan sebelumnya, bahkan ada yang membayar ratusan juta rupiah untuk satu unit demi menunjang gaya hidup. Beberapa merek internasional mengalami lonjakan penjualan hingga ratusan persen, dengan stok habis dalam hitungan hari.

Bersepeda menjadi pilihan olahraga luar ruang yang aman sekaligus mengikuti tren gaya hidup sehat di tengah pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Lonjakan ini terjadi karena pembatasan mobilitas membuat masyarakat mencari aktivitas luar ruang yang aman. Bersepeda menawarkan jarak sosial alami, sekaligus menjadi bagian dari tren kesehatan dan kebugaran yang meningkat selama pandemi.

Memasuki 2022, tanda-tanda kejenuhan mulai terlihat. Seiring pelonggaran pembatasan dan kembalinya aktivitas normal, minat masyarakat pada olahraga sepeda berkurang. Menurut data Apsindo, penjualan sepeda mewah turun drastis, sementara segmen menengah cenderung lebih stabil.

Fenomena ini terlihat nyata di STC Senayan, Jakarta Pusat, yang dulu dikenal sebagai salah satu pusat penjualan sepeda kelas atas di ibu kota. 

Saat puncak tren gowes, deretan toko di pusat perbelanjaan itu menjual berbagai merek sepeda mewah, dari yang berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kini, hampir semua toko telah tutup. Hanya satu yang masih bertahan.

“Tutup banyak, pertama yang berdampak itu kan adalah di toko dulu. Toko sudah nggak ada aktivitas penjualan dan sebagainya. Terus juga toko tutup, lalu juga importir juga tutup. Terus kedua pabrik juga mengurangi line produksi,” kata Eko.

Menurutnya, bisnis yang bertahan umumnya adalah mereka yang sudah lama bergerak di industri ini dan mampu menyesuaikan strategi meski dengan volume penjualan kecil.

Dampak Terbesar di Segmen Branded

Eko menegaskan, penurunan paling parah dirasakan di segmen sepeda mewah atau branded yang sering dibeli sebagai simbol gaya hidup. 

“Sepeda itu kemarin kan ramai yang untuk barang branded karena lifestyle. Pada saat lifestyle itu berubah, yang paling berdekatan itu kayak lari, pada saat mereka sudah seneng sepeda terus mereka pindah lari, ya sudah tren sepedanya turun. Penjualan tuh efek sekali,” jelasnya.

Kini, olahraga padel yang sedang naik daun ikut menggeser minat masyarakat. “Sekarang ini padel (sedang tren), ya habis sudah. Efek karena budget mereka juga terbatas, mereka akan memilih prioritas mana yang lagi tren dan mereka mau ikutin,” tambahnya.

Lapangan padel di Jakarta mulai ramai sejak 2023, menarik minat kalangan urban yang mencari alternatif olahraga bergengsi setelah tren bersepeda meredup. (Freepik)

Olahraga yang memadukan tenis dan squash ini berkembang pesat di Jakarta, Bali, Surabaya, dan sejumlah kota besar lainnya. Lapangan padel bermunculan, didukung investor swasta dan operator pusat olahraga modern. 

Selebritas dan influencer mempopulerkan aktivitas ini melalui media sosial, menciptakan efek yang mirip dengan fenomena sepeda pada awal pandemi.

Risiko Bergantung pada Tren

Pengamat manajemen bisnis olahraga dari Universitas Indonesia, Dr. Dwi Handayani, menilai fenomena ini sebagai pelajaran penting bagi pelaku usaha. 

“Tren olahraga punya siklus hidup. Ada masa naik yang cepat, tapi juga masa turun yang tajam. Bisnis yang tidak diversifikasi akan kesulitan bertahan,” ujarnya.

Ia menyarankan strategi bertahan dengan memperluas pasar dan menciptakan ekosistem layanan. Misalnya, toko sepeda bisa menambah lini produk di segmen menengah, atau mengadakan kegiatan komunitas seperti fun ride, pelatihan teknik, dan paket wisata bersepeda.

Tren ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Pasar sepeda di Amerika Serikat dan Eropa juga mengalami lonjakan selama pandemi, lalu penurunan tajam saat mobilitas kembali normal. Produsen besar seperti Giant dan Trek melakukan penyesuaian produksi, mengurangi stok, dan memperluas lini produk.

“Pasar olahraga sangat dinamis. Saat tren berubah, yang bertahan adalah merek yang punya variasi produk dan layanan,” kata analis industri olahraga dari Euromonitor International, James Calder.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Runtuhnya tren gowes berdampak luas. Toko-toko tutup, importir mengurangi kegiatan, dan pabrik memangkas jalur produksi. Di sisi lain, pasar sepeda bekas menjadi lebih ramai, terutama untuk produk kelas atas yang dijual dengan potongan harga besar.

“Banyak pembeli dari luar kota memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan sepeda berkualitas dengan harga terjangkau,” ujar Rudi Santoso, penjual sepeda bekas di Bandung.

Para pakar menekankan bahwa dalam bisnis olahraga, kemampuan membaca arah tren sangat krusial. Usaha yang hanya mengandalkan satu jenis produk atau tren lebih rentan, sedangkan yang menawarkan beragam pilihan dan pengalaman memiliki peluang lebih besar untuk bertahan.

“Intinya, jangan hanya menjual barang. Jual juga pengalaman dan komunitas,” kata Dr. Dwi.

Meskipun pasar lesu, segmen sepeda mewah masih memiliki basis konsumen setia. Pengalaman masa lalu menunjukkan tren bisa kembali bergairah dengan pemicu yang tepat, seperti teknologi baru, event olahraga besar, atau kampanye kesehatan nasional.

Bagi pelaku usaha, tantangan terbesarnya adalah bertahan di periode lesu sambil menjaga relevansi. Dalam industri olahraga, kelangsungan bisnis tidak ditentukan oleh siapa yang mengikuti tren tercepat, tetapi oleh siapa yang mampu beradaptasi ketika tren bergeser.