![]() |
| Aksi Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, memimpin ibadah Yahudi di kompleks Masjid Al-Aqsa memicu kecaman dari negara-negara Arab hingga Barat. (Serigala Kobi/Bloomberg) |
Aksi Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, memicu badai diplomatik baru di Timur Tengah. Pada Sabtu, 3 Agustus 2025, Ben-Gvir memimpin lebih dari 1.250 warga Yahudi beribadah di kompleks Masjid Al-Aqsa tindakan yang secara terang-terangan melanggar status quo yang selama ini dijamin komunitas internasional.
Ben-Gvir, politisi sayap kanan dari koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, bahkan terekam kamera tengah berdoa di lokasi yang menurut perjanjian hanya diperuntukkan bagi kunjungan non-Muslim tanpa aktivitas keagamaan.
Padahal, Al-Aqsa adalah situs tersuci ketiga bagi umat Islam dan situs paling suci dalam keyakinan Yahudi dikenal sebagai Temple Mount.
Langkah Ben-Gvir langsung menuai kecaman global. Pemerintah Yordania penjaga resmi situs suci tersebut menyebut tindakan itu sebagai "provokasi yang tidak dapat diterima dan pelanggaran hukum internasional." Arab Saudi turut mengecam keras dan menegaskan bahwa Israel tidak memiliki kedaulatan atas kompleks Al-Aqsa.
Turki menyebut aksi tersebut sebagai "serbuan yang didukung aparat keamanan," dan menyerukan perlindungan terhadap identitas historis dan religius Yerusalem.
Otoritas Palestina bahkan memperingatkan bahwa tindakan Ben-Gvir "melanggar batas merah" dan meminta intervensi segera dari Amerika Serikat dan komunitas internasional.
Meski tanpa pernyataan resmi, sumber diplomatik AS mengungkapkan keprihatinan mendalam atas pelanggaran status quo yang berisiko memicu ketegangan regional.
Di sisi lain, Ben-Gvir justru membela aksinya. Ia mengklaim tengah "berdoa untuk kemenangan Israel atas Hamas" dan menegaskan dukungannya agar Israel sepenuhnya menguasai Jalur Gaza.
Ia bahkan mendorong gagasan "migrasi sukarela" warga Palestina dari wilayah tersebut sebuah retorika yang mengulang agenda ultranasionalisnya.
Sementara itu, Netanyahu mencoba menenangkan situasi dengan menyatakan bahwa "tidak ada perubahan dalam kebijakan status quo di tempat-tempat suci," namun ia tidak secara eksplisit mengecam tindakan menterinya.
Sikap ini dinilai ambigu oleh banyak pengamat dan dianggap sebagai sinyal politik dalam negeri untuk menjaga koalisi sayap kanan tetap solid.
Insiden ini terjadi di tengah situasi yang sudah memanas akibat perang Israel-Hamas yang masih berlangsung sejak akhir 2024. Hamas menyebut aksi Ben-Gvir sebagai bagian dari "agresi terstruktur terhadap rakyat Palestina" dan memperingatkan bahwa eskalasi ini bisa memicu reaksi keras dari kelompok perlawanan di Gaza maupun Tepi Barat.
Tak lama setelah peristiwa di Al-Aqsa, protes besar-besaran meletus di Ramallah dan Hebron. Ribuan warga Palestina turun ke jalan meneriakkan slogan-slogan penolakan terhadap pendudukan Israel dan menuntut pembalasan atas provokasi terbaru tersebut.
Yordania turut mengingatkan bahwa pelanggaran berulang terhadap pengaturan di tempat suci dapat menyalakan kembali kekerasan berskala luas. "Kami telah memperingatkan berkali-kali.
Jika status quo terus diganggu, akan ada konsekuensi serius," kata seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Yordania kepada BBC Arabic.
Ketegangan di Al-Aqsa bukan yang pertama kali. Pada 2021, kunjungan serupa dari politisi Israel memicu gelombang kekerasan yang berujung pada konflik bersenjata selama 11 hari antara Israel dan Hamas. Saat itu, lebih dari 250 warga Palestina dan 13 warga Israel tewas.
Kondisi geopolitik saat ini bahkan lebih rapuh. Selain konflik di Gaza yang belum mereda, hubungan Israel dengan Yordania, Turki, dan Arab Saudi sedang dalam sorotan, apalagi di tengah proses normalisasi yang penuh ketegangan.
Al-Aqsa terletak di Yerusalem Timur wilayah yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967 dan kemudian dianeksasi secara sepihak, langkah yang tidak diakui oleh mayoritas negara di dunia.
Meski Israel mengontrol keamanan, pengelolaan harian kompleks Al-Aqsa masih berada di tangan Wakaf Islam yang didukung pemerintah Yordania.
Selama ini, perjanjian tidak tertulis antara Israel dan Yordania dikenal sebagai status quo menjamin hak eksklusif Muslim untuk beribadah di tempat tersebut. Setiap pelanggaran, terutama yang melibatkan tokoh politik, dipandang sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas kawasan.

0Komentar