Fenomena bendera One Piece yang dikibarkan sopir truk menuai sorotan. Titiek Soeharto menyebut aksi itu hanya masalah ecek-ecek dan mengajak fokus pada kesejahteraan rakyat. (Gerindra)

Aksi sopir truk yang ramai mengibarkan bendera bajak laut ala One Piece di berbagai daerah dinilai bukan ancaman serius oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Titiek Soeharto. 

Ia menyebut fenomena ini sebagai "masalah ecek-ecek" yang tidak perlu dibesar-besarkan, terlebih jika dibandingkan dengan persoalan berat seperti kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.

“Enggak lah, kita negara besar, hanya itu masalah ecek-ecek lah, enggak usah ditanggapin. Masih banyak yang harus kita kerjakan untuk pembangunan negeri ini,” ujar Titiek saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pekan ini.

Pernyataan itu muncul di tengah ramainya aksi para sopir truk yang memasang bendera “Jolly Roger” milik kelompok bajak laut Straw Hat dalam serial One Piece. 

Fenomena ini menjadi viral di media sosial dan menuai beragam interpretasi. Sebagian menilai aksi ini sebagai bentuk simbolik dari kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah, terutama menyangkut kondisi kerja, beban biaya logistik, dan perlakuan di pelabuhan.

Namun, tidak sedikit pula yang menganggap pengibaran bendera ini sekadar ekspresi populer menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, atau bagian dari budaya pop yang berkembang di kalangan muda dan pekerja lapangan.

Titiek menyarankan agar para sopir truk yang merasa tidak puas dengan situasi ekonomi atau kebijakan tertentu lebih baik menyuarakan aspirasi secara langsung kepada pemerintah. Ia juga menyiratkan bahwa kritik terbuka bisa mempercepat perhatian dari Presiden terpilih Prabowo Subianto.

“Kalau ada yang dirasa enggak pas, ya disuarakan saja, biar pemerintah dengar. Makin sering disuarakan, makin cepat sampai ke telinga Pak Prabowo,” ujarnya.

Pandangan Titiek ini mendapat respons positif dari sejumlah elemen buruh. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) misalnya, mengapresiasi pendekatan yang lebih menyejukkan dibandingkan langkah represif. 

Mereka menilai bahwa ekspresi para sopir truk tidak sepatutnya langsung dicurigai sebagai gerakan subversif, tetapi sebagai bentuk sosial dari kelompok yang merasa dipinggirkan.

“Kami mendukung Ibu Titiek. Yang dibutuhkan saat ini adalah ruang dialog, bukan justru stigmatisasi terhadap sopir-sopir yang sedang berjuang untuk hidup,” kata Ketua Sarbumusi Bidang Transportasi, Adi Rahman, dalam pernyataan tertulis.

Namun demikian, Sarbumusi juga menyerukan agar para sopir mengganti bendera One Piece dengan Merah Putih, khususnya menjelang Hari Kemerdekaan, untuk menjaga simbol negara dan menghindari penunggang gelap politik.

Berbeda dengan pendekatan Titiek, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengingatkan bahwa fenomena semacam ini berpotensi ditunggangi kelompok tertentu yang ingin memecah belah persatuan. 

Ia menyebut ada laporan dari aparat intelijen soal kemungkinan gerakan terselubung di balik aksi ini, meski belum ada bukti konkret yang dirilis ke publik.

“Perlu diwaspadai jangan sampai simbol-simbol budaya pop dipelintir menjadi alat provokasi. Kita semua harus jaga ketenangan di tahun politik,” ujar Dasco.

Sementara itu, sebagian netizen di media sosial menyambut aksi bendera One Piece dengan nada simpatik. Banyak yang memuji keberanian sopir truk dalam menyuarakan kegelisahan sosial dengan cara yang kreatif. 

“Ini perlawanan yang lembut, simbolik, tapi mengena,” tulis salah satu pengguna X (dulu Twitter). Namun, ada pula yang menilai aksi tersebut sekadar ikut tren dan tidak memiliki makna politik yang jelas.

Pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia, Dr. Indra Lesmana, menilai bahwa fenomena bendera One Piece adalah bentuk simbolik yang mencerminkan adanya krisis representasi di kalangan pekerja informal. Menurutnya, ketika jalur formal tak memberikan hasil, simbol populer seperti tokoh anime bisa menjadi kanal ekspresi alternatif.

“Simbol bajak laut ini bukan tentang kekerasan, tapi tentang pencarian keadilan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketimpangan. Mirip dengan apa yang dialami para sopir di lapangan,” jelas Indra.

Fenomena ini juga mencerminkan kondisi psikososial masyarakat pekerja yang kerap merasa diabaikan. Beban biaya bahan bakar, tarif pelabuhan, serta jam kerja panjang tanpa kepastian upah yang layak menjadi keluhan umum di sektor transportasi darat.

Meski dianggap sebagai “ecek-ecek”, isu ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. Para sopir truk adalah tulang punggung logistik nasional. Jika kelompok ini merasa tak didengar, dampaknya bisa lebih luas terhadap kestabilan ekonomi dan distribusi barang.