Pelaku usaha putar suara alam agar bebas royalti? LMKN tegaskan semua rekaman tetap kena royalti, termasuk kicau burung dan suara gemericik air. (Unsplash)

Upaya sebagian pelaku usaha seperti restoran dan kafe untuk menghindari kewajiban royalti musik dengan memutar rekaman suara alam, rupanya tak bisa menjadi jalan keluar. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa semua jenis rekaman termasuk suara burung dan gemericik air tetap masuk kategori fonogram yang wajib dikenai royalti.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar,” kata Ketua Umum LMKN, Dharma Oratmangun, dikutip dari Suaracom, Senin (4/8/2025).

Pernyataan tersebut menanggapi tren yang mulai muncul di kalangan pengusaha ritel dan F&B yang mencoba ‘mengakali’ aturan royalti dengan mengganti musik berlisensi menjadi suara alam yang dianggap “netral”. Namun bagi LMKN, langkah itu justru keliru dan menyesatkan secara hukum.

“Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi. Itu tetap rekaman fonogram, tetap hak eksklusif produser,” tegas Dharma dalam keterangannya kepada Kumparan.

Berdasarkan regulasi yang berlaku, setiap tempat usaha yang memutar rekaman audio baik musik, suara manusia, hingga suara alam yang direkam secara profesional diwajibkan membayar royalti. 

Hal ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Tahun 2016 yang menetapkan tarif royalti sebesar Rp60.000 per kursi per tahun untuk tempat usaha seperti restoran, kafe, dan hotel.

Tarif ini bersifat menyeluruh dan mencakup hak cipta atas karya pencipta, serta hak terkait atas fonogram dari produser rekaman. Dengan kata lain, suara burung sekalipun asal merupakan hasil rekaman pihak produser masuk dalam kategori yang sama.

Penting dicatat, royalti tidak dihitung berdasarkan jumlah lagu atau jenis suara yang diputar, tetapi berdasarkan kapasitas tempat usaha, yakni jumlah kursi yang tersedia.

“Prinsipnya sederhana: siapa pun yang menggunakan rekaman di ruang publik atau komersial, wajib menghormati hak para kreator dan produser,” ujar Dharma.

Kewajiban membayar royalti kerap dipersepsikan sebagai beban tambahan, terutama bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMKM). 

Namun, LMKN menegaskan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk memberikan keringanan tarif kepada pelaku usaha yang hanya beroperasi di hari-hari tertentu atau dengan jumlah kursi terbatas.

“Kami terbuka untuk dialog. Bagi UMKM, skema pembayaran bisa disesuaikan. Intinya bukan soal jumlah uangnya, tapi prinsip menghormati karya orang lain,” ungkap Dharma.

Sejak aturan ini diberlakukan pada 2016, LMKN sudah menyiapkan kanal informasi dan prosedur izin yang dapat diakses publik. Informasi terkait juga terus disosialisasikan secara berkala bersama asosiasi sektor usaha.

Bagi pelaku usaha yang ingin benar-benar bebas dari kewajiban royalti, Dharma menyarankan agar mereka menggunakan rekaman yang berasal dari domain publik atau berlisensi Creative Commons secara sah. Namun, verifikasi tetap diperlukan agar tidak salah kaprah menggunakan rekaman yang sebenarnya tetap memiliki pemilik hak.

“Sekarang banyak platform menyediakan rekaman bebas royalti, tapi pengguna tetap harus cermat. Tidak semua yang gratis di internet berarti bebas lisensi,” kata Dharma.

LMKN juga mengimbau pelaku usaha untuk mencantumkan informasi secara transparan di tempat usahanya sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum dan penghormatan terhadap para pencipta.

Selama ini, LMKN telah mengedepankan pendekatan persuasif kepada pelaku usaha. Namun bagi pelanggaran berat atau yang mengabaikan somasi, langkah hukum tetap ditempuh.

“Bukan semata-mata soal uang, ini soal etika. Pelaku usaha yang menikmati suasana dari rekaman musik atau suara apa pun harus menghargai penciptanya,” ucap Dharma.

LMKN mencatat, sebagian besar pelanggaran terjadi karena minimnya pemahaman soal hak terkait, bukan niat buruk. Namun demikian, narasi keliru seperti anggapan bahwa suara burung bebas royalti berpotensi memperkeruh pemahaman publik.

Pada akhirnya, polemik soal suara alam menegaskan pentingnya edukasi tentang hak kekayaan intelektual. Meski terdengar alami dan bebas dari instrumen musik, begitu suara itu direkam dan diedarkan secara komersial, ia berubah menjadi karya yang dilindungi hukum.

“Rekaman suara apa pun, begitu dibuat oleh produser dan diedarkan, jadi objek perlindungan hak terkait. Mau suara ombak, angin, atau burung kalau itu direkam dan diputar di usaha, tetap kena royalti,” tandas Dharma.