Serangan rudal Rusia ke Kyiv menewaskan 16 orang dan melukai 150 lainnya. Zelensky desak sekutu Barat untuk gulingkan rezim Putin demi stabilitas regional. (REUTERS)

Serangan udara paling brutal dalam beberapa bulan terakhir menghantam Kyiv, ibu kota Ukraina, pada Kamis dini hari. Ratusan drone dan sejumlah rudal memporakporandakan permukiman warga, menewaskan 16 orang termasuk seorang anak laki-laki berusia enam tahun. 

Menyikapi eskalasi ini, Presiden Volodymyr Zelensky mendesak negara-negara Barat agar tidak berhenti pada dukungan militer semata, tapi juga mendorong penggulingan rezim Vladimir Putin.

“Tetapi jika dunia tidak ingin mengubah rezim di Rusia, itu berarti bahkan setelah perang berakhir, Moskow akan tetap berusaha mengganggu stabilitas negara-negara tetangga,” kata Zelensky dalam pernyataan resminya.

Serangan dimulai sekitar tengah malam, lalu kembali berlanjut sekitar pukul 04.30 pagi. Rudal dan drone menghantam sedikitnya 27 titik di Kyiv, merusak berbagai fasilitas, termasuk sekolah, rumah sakit, jalur kereta api, dan lebih dari 100 bangunan tempat tinggal.

Tymur Tkachenko, Kepala Administrasi Militer Kyiv, menyampaikan lewat Telegram bahwa “seorang anak laki-laki berusia enam tahun meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.” Jumlah korban luka mencapai sekitar 150 orang, termasuk 16 anak-anak dan enam anggota kepolisian.

Pemandangan pascaserangan meninggalkan trauma mendalam bagi warga. “Ini mengejutkan. Saya masih belum bisa menemukan arah,” ujar Valentyna Chestopal, warga Kyiv. “Ini sangat menakutkan.” 

Pemerintah Ukraina menetapkan 1 Agustus sebagai hari berkabung nasional. Bendera dikibarkan setengah tiang, dan seluruh bentuk hiburan publik dilarang sementara.


Zelensky Minta Dunia Tak Sekadar ‘Membantu’

Serangan ini memperkuat seruan Zelensky bahwa solusi jangka panjang bukan hanya soal mengalahkan Rusia di medan perang, tetapi juga perubahan politik di Moskow. Ia menilai, selama Putin masih berkuasa, ancaman terhadap Ukraina dan negara-negara tetangganya akan terus ada.

Zelensky juga mengungkapkan bahwa serangan sebelumnya ke Kyiv pada April 2025 menggunakan rudal balistik Korea Utara KN-23 bukti bahwa aliansi senjata lintas negara mulai terbentuk di pihak Rusia. Ia menyebut langkah ini sebagai “eskalasi brutal yang membahayakan sistem internasional.”

Sementara ibu kota diguncang dari udara, pertempuran sengit terjadi di sisi timur Ukraina. Rusia mengklaim telah merebut kota Chasiv Yar di Donetsk, namun klaim itu langsung dibantah oleh Ukraina.

“Unit-unit Ukraina mempertahankan posisi kami,” tegas Zelensky.

Oleksandr Kovalenko, analis militer Ukraina, mengakui bahwa pasukan Rusia telah menguasai wilayah utara dan timur kota, termasuk zona-zona paling sulit. “Pertempuran di sisi barat masih berlangsung, dengan situasi yang sangat sulit,” katanya.

Secara strategis, Chasiv Yar adalah titik tinggi yang memberi keunggulan artileri terhadap kota-kota besar di Donbas, seperti Kramatorsk dan Sloviansk. 

Beberapa analis melihat langkah ini sebagai upaya Kremlin menunjukkan "hasil" untuk konsumsi politik domestik, meski harus dibayar mahal dengan nyawa tentaranya.


Trump Kecam, PBB Angkat Suara

Dari Washington, Presiden AS Donald Trump menyampaikan kecaman keras terhadap Moskow. Ia memberi tenggat 10 hari dan memperingatkan soal sanksi baru.

“Rusia, menurut saya tindakan mereka menjijikkan. Kami akan menjatuhkan sanksi,” katanya. “Saya tidak tahu apakah sanksi itu mengganggunya,” lanjutnya, merujuk langsung pada Putin.

PBB juga buka suara. Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Ukraina, Matthias Schmale, menyebut serangan itu sebagai pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional, mengingat banyaknya korban sipil dan hancurnya fasilitas publik.


RUU Antikorupsi Dibatalkan, Publik Menang

Di tengah konflik berkepanjangan, Ukraina juga menghadapi tekanan dari dalam. Parlemen akhirnya membatalkan rancangan undang-undang kontroversial yang semula memberi kekuasaan kepada jaksa agung atas lembaga antikorupsi seperti NABU dan SAPO.

RUU itu sempat memicu protes besar dan dikecam Uni Eropa karena dianggap mengancam reformasi yang telah lama diperjuangkan. Brussels menegaskan bahwa independensi lembaga antikorupsi adalah syarat penting dalam proses keanggotaan Ukraina di Uni Eropa.

Langkah pembatalan ini disambut sebagai kemenangan masyarakat sipil, namun juga menjadi pengingat bahwa di luar perang, perjuangan politik Ukraina untuk membangun institusi yang bersih dan kuat belum selesai.

Dalam situasi yang terus memburuk, Zelensky kini tidak hanya berperang di medan tempur, tapi juga di medan diplomasi, opini publik, dan reformasi internal. 

Seruan agar sekutu Barat turut menggulingkan kekuasaan Putin membuka babak baru dalam konflik lebih berani, lebih frontal, dan bisa berdampak jauh lebih luas dari sekadar perang terbuka.