![]() |
| Indonesia masuk kategori negara gagal versi PBB karena tingginya beban bunga utang yang melampaui anggaran pendidikan dan kesehatan. (Ilustrasi: Apluswire/Hra) |
Negara-negara berkembang kini menghadapi lonjakan beban bunga utang yang kian mengancam keberlanjutan fiskal dan kualitas pembangunan. Dalam laporan terbaru "A World of Debt 2025" yang dirilis oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), pengeluaran bunga utang di negara-negara berkembang naik 84% dalam periode 2021–2023. Kenaikan itu melampaui pertumbuhan belanja pendidikan (52%) dan kesehatan (77%).
UNCTAD mencatat bahwa 22 negara berkembang telah mengalokasikan anggaran bunga utang lebih besar daripada pendidikan, sementara 45 negara menghabiskan lebih banyak dana untuk bunga utang dibanding sektor kesehatan.
Tak kurang dari 3,4 miliar orang tinggal di negara-negara yang lebih banyak membayar bunga utang daripada membiayai kebutuhan dasar warganya.
Lebih lanjut, laporan itu menunjukkan bahwa pada tahun 2024, pembayaran bunga bersih dari negara berkembang mencapai US$ 921 miliar naik sekitar 10% dari tahun sebelumnya.
Kini, terdapat 61 negara berkembang yang menghabiskan lebih dari 10% pendapatan pemerintah mereka hanya untuk membayar bunga utang. Angka ini dua kali lipat dibanding tahun 2010.
Kalau Memakai Parameter PBB, Indonesia Termasuk Negara Gagal Secara Sistemik
Di tengah sorotan global, Indonesia pun disebut mengalami tekanan serupa. Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menyampaikan bahwa sejak 2015 hingga 2025, beban bunga utang Indonesia secara konsisten lebih tinggi dibanding anggaran untuk sektor kesehatan.
Pada 2024, rasio bunga utang terhadap belanja kesehatan Indonesia mencapai 266%, sedangkan terhadap belanja pendidikan sebesar 85%. Pada 2025, rasionya masih sangat tinggi: 253% terhadap kesehatan, dan 76,3% terhadap pendidikan.
“Kalau memakai parameter PBB, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara gagal secara sistemik,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Celios.
Ia menambahkan, “Utang yang ditarik pemerintah belum memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat atau kualitas sumber daya manusia.”
Data ini memperkuat narasi global bahwa semakin banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menempatkan pembayaran bunga utang di atas kepentingan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Risiko sistemik pun menjadi nyata di tengah ketidakmampuan negara mengelola tekanan fiskal yang kian meningkat.
Negara Rapuh dan Risiko Kehancuran Struktural
Pola fiskal ini mengarah pada gejala negara rapuh (fragile state). Berdasarkan indeks Negara Rapuh 2023 yang diterbitkan Fund for Peace, negara rapuh didefinisikan sebagai wilayah yang pemerintahnya mulai kehilangan kendali atas rakyat dan teritorinya.
Ini biasanya ditandai dengan runtuhnya pelayanan publik, memburuknya keamanan, meningkatnya konflik dan kemiskinan, hingga munculnya kekosongan kekuasaan yang dimanfaatkan kelompok bersenjata.
Walaupun Indonesia tidak disebut dalam daftar 11 negara berstatus “Siaga Tinggi” seperti Myanmar, Ethiopia, atau Sudan, namun tekanan terhadap fiskal dan belanja publik menunjukkan gejala struktural yang patut diwaspadai.
Dari perspektif sistem pemerintahan, literatur global seperti Britannica mencatat bahwa negara gagal kerap muncul dari sistem demokrasi yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat luas.
Ketika anggaran negara tersedot untuk membayar utang, sementara pelayanan publik dikesampingkan, legitimasi pemerintahan tergerus. Ini dapat memicu ketidakpuasan sosial dan ketegangan politik dalam jangka panjang.
Kondisi ini mendorong berbagai lembaga internasional menyerukan reformasi arsitektur keuangan global. UNDP mencatat bahwa biaya pelayanan utang di 56 negara berkembang sudah melebihi 10% dari pendapatan pemerintah. Di 17 negara, angkanya bahkan melampaui 20% tingkat yang dianggap mengarah pada risiko gagal bayar (default).
Presiden Chief Economist Bank Dunia mengingatkan bahwa beban bunga utang telah menggerus hingga 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di banyak negara berkembang. Di negara termiskin, porsi itu bahkan mencapai 20%. Akibatnya, konsumsi penting seperti pendidikan dan kesehatan terdorong ke pinggir.
Sementara itu, The Guardian menyebut bahwa pada 2025, sebanyak 75 negara termiskin akan menghadapi gelombang pembayaran utang ke China senilai US$ 22 miliar. Ini dinilai berpotensi mengganggu anggaran untuk mitigasi iklim, perlindungan sosial, dan pendidikan.
Dalam laporan yang sama, Financial Times mencatat bahwa 54 negara kini mengalokasikan lebih dari 10% pendapatan pajak hanya untuk membayar bunga utang.
Di Indonesia sendiri, meskipun total utang pemerintah masih dalam batas aman berdasarkan rasio terhadap PDB, namun kualitas belanja tetap menjadi sorotan utama.
Pemerintah telah meningkatkan utang dalam satu dekade terakhir untuk membiayai infrastruktur dan program sosial. Namun, Bhima Yudhistira menilai bahwa efek terhadap pembangunan sumber daya manusia masih minim.
“Utang besar, tapi hasilnya belum terlihat di indeks pendidikan atau layanan kesehatan. Bahkan sebagian belanja utang justru mengalir ke proyek-proyek yang tidak inklusif,” ungkapnya.

0Komentar