Kementerian Kesehatan Gaza mengonfirmasi kematian pertama akibat wabah sindrom Guillain-Barré (GBS) di wilayah tersebut. Tiga pasien meninggal dunia dua di antaranya anak-anak, dan satu lagi seorang wanita berusia 60 tahun.
Ini merupakan sinyal paling nyata bahwa Gaza kini menghadapi ancaman kesehatan baru yang serius, di tengah krisis kemanusiaan berkepanjangan akibat perang dan blokade.
GBS adalah penyakit neurologis langka yang menyerang sistem saraf tepi, menyebabkan kelumpuhan, dan dalam kasus fatal, dapat memengaruhi pernapasan.
Di Gaza, kemunculannya kini tidak lagi sporadis. Sebaliknya, data Kementerian Kesehatan mencatat lonjakan drastis dari rata-rata 4–5 kasus per tahun sebelum perang, kini melonjak menjadi 64 kasus dalam dua bulan, dan bahkan 95 kasus baru hanya dalam satu hari, pada Selasa (6/8). Dari total itu, 45 pasien adalah anak-anak.
"Tanpa perawatan segera dalam 48 jam pertama, kesehatan pasien akan memburuk dengan cepat," tegas Ayman Abu Rahma, Kepala Bidang Kedokteran Pencegahan Kementerian Kesehatan Gaza, kepada Asharq Al-Awsat.
Mayoritas kasus GBS dan kelumpuhan flaksid akut (AFP) menyerang kelompok balita. Sekitar 80% kasus penyakit menular saat ini melibatkan anak-anak di bawah lima tahun.
Situasi tersebut diperparah oleh kondisi malnutrisi ekstrem, akses terhadap air bersih yang sangat terbatas, serta kontaminasi lingkungan akibat kerusakan infrastruktur dan sanitasi.
Laporan laboratorium menunjukkan temuan virus polio dan enterovirus dalam sejumlah sampel pasien. Kementerian Kesehatan menyebut ini sebagai pertanda bahwa Gaza berada di ambang epidemi menular berskala luas.
“Lingkungan yang subur untuk wabah yang tak terkendali,” sebut pernyataan resmi Kementerian, merujuk pada penyebaran virus penyebab kelumpuhan.
Kematian Tak Lagi Hanya dari Serangan Militer
Dengan tercatatnya kematian akibat GBS, kini krisis kemanusiaan di Gaza tidak hanya datang dari bom atau peluru. Wabah penyakit mulai mencatatkan korban jiwa yang signifikan.
Sejak Oktober 2023, tercatat lebih dari 61.000 korban tewas, dan 193 di antaranya meninggal karena kelaparan, termasuk hampir seratus anak-anak.
Ironisnya, rumah sakit di Gaza kehabisan imunoglobulin intravena (IVIG), obat utama untuk menangani GBS, serta tidak memiliki fasilitas untuk terapi plasma exchange. Kondisi ini membuat pasien yang seharusnya bisa diselamatkan kehilangan peluang hidup.
Kepadatan ekstrem mencapai 40.000 jiwa per kilometer persegi, sanitasi yang hancur total, serta air minum yang tercemar mempercepat laju penyebaran penyakit.
Dalam beberapa hari terakhir, kasus AFP juga meningkat tajam, dengan 45 kasus dicatat sepanjang Juni–Juli. Gejalanya dimulai dari kaki lemah hingga paralisis otot pernapasan.
Sementara itu, bantuan kemanusiaan masih tersendat. Banyak distribusi bantuan dijarah di lapangan, dan 1.655 orang dilaporkan tewas saat mencoba mengakses bantuan.
Tenaga medis tidak hanya menghadapi kekurangan alat dan obat, tetapi juga tekanan psikologis karena tingginya jumlah pasien yang datang tanpa bisa ditangani.
"Kondisi kelaparan semakin parah meskipun pengiriman bantuan sporadis, banyak di antaranya dijarah oleh geng-geng bersenjata," kata seorang relawan medis kepada media lokal.
Gaza di Ambang Bencana Kesehatan
Pakar medis Palestina memperingatkan bahwa kematian akibat GBS hanyalah awal. Tanpa tindakan cepat, termasuk pembukaan jalur bantuan medis dan pengiriman obat-obatan krusial, jumlah korban akan terus meningkat.
Kementerian Kesehatan mendesak intervensi internasional dan mencabut blokade agar akses kesehatan bisa dipulihkan.
"Ini bukan sekadar kematian tunggal, melainkan peringatan akan kemungkinan bencana kesehatan menular," tulis pernyataan Kementerian Kesehatan Gaza.
Gaza kini tidak hanya menghadapi perang bersenjata, tetapi juga perang melawan kelumpuhan massal, krisis kelaparan, dan sistem kesehatan yang tidak lagi mampu bertahan.
Tiga kematian pertama akibat GBS menjadi penanda tragis bahwa musuh baru di Jalur Gaza telah datang tanpa suara ledakan, tapi sama mematikan.

0Komentar