India berencana meningkatkan impor minyak mentah dari Rusia pada September 2025 meski menghadapi tekanan dari Amerika Serikat yang baru saja memberlakukan tarif 50 persen terhadap produk asal India. Langkah ini menegaskan sikap New Delhi yang tidak mengindahkan sanksi ekonomi Washington.
Tiga sumber perdagangan yang terlibat dalam penjualan minyak ke India mengatakan kepada Reuters bahwa kilang-kilang India akan menaikkan pembelian minyak Rusia sebesar 10-20 persen bulan depan. Jumlah itu setara tambahan 150.000 hingga 300.000 barel per hari dibandingkan Agustus.
Peningkatan impor terjadi saat Presiden AS Donald Trump resmi memberlakukan tarif baru pada Rabu (27/8/2025). Kebijakan ini berdampak luas pada perdagangan India, terutama sektor tekstil yang selama ini bergantung pada pasar Amerika.
Menurut sumber perdagangan, ekspor minyak Rusia ke India terdorong oleh strategi Moskow yang menawarkan harga lebih murah.
Diskon untuk minyak jenis Urals mencapai US$2-3 per barel dari harga acuan Brent untuk pengiriman September, lebih besar dibandingkan diskon Agustus yang hanya sekitar US$1,50 per barel.
Situasi ini terkait terganggunya kapasitas pengolahan kilang Rusia akibat serangan drone Ukraina terhadap 10 fasilitas penyulingan.
Serangan itu melumpuhkan sekitar 17 persen kapasitas pengolahan negara tersebut, sehingga Rusia memiliki lebih banyak minyak mentah untuk dijual karena tidak bisa mengolahnya menjadi bahan bakar.
Data dari perusahaan analis energi Vortexa menunjukkan dalam 20 hari pertama Agustus, India mengimpor sekitar 1,5 juta barel per hari minyak Rusia.
Angka ini stabil dibandingkan Juli, namun sedikit di bawah rata-rata 1,6 juta barel per hari pada Januari hingga Juni. Pasokan tersebut memenuhi sekitar 40 persen kebutuhan minyak India dan sekitar 1,5 persen pasokan global.
Penasihat senior Gedung Putih untuk perdagangan, Peter Navarro, menyatakan Washington siap memberikan keringanan tarif kepada India jika menghentikan pembelian minyak Rusia.
“Sangat mudah. India bisa mendapatkan diskon tarif 25 persen besok jika berhenti membeli minyak Rusia dan membantu memasok mesin perang mereka,” kata Navarro kepada Bloomberg.
Navarro bahkan menyebut konflik Ukraina sebagai “perang Modi”, menuding India membantu membiayai operasi militer Rusia melalui pembelian minyak murah.
Menurutnya, uang dari penjualan minyak itu digunakan Moskow untuk membeli senjata yang kemudian digunakan di medan perang Ukraina.
Namun, pemerintah India menolak tekanan tersebut. Menteri Luar Negeri India, S. Jaishankar, menegaskan bahwa permintaan Amerika tidak realistis.
“Tuntutan ini tidak masuk akal. Barat sendiri masih berdagang dengan Rusia, khususnya Eropa. Jadi kami menilai ada sikap ganda,” kata Jaishankar.
Di dalam negeri, kebijakan tarif 50 persen Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran besar. Saham sejumlah perusahaan tekstil seperti KPR Mill, Gokaldas Exports, dan Trident tercatat anjlok 3-5 persen di bursa.
Federation of Indian Export Organisations (FIEO) memperingatkan bahwa ekspor tekstil senilai hampir ₹72.000 crore kini berada dalam risiko. Organisasi ini juga mengingatkan jutaan pekerja terancam pemutusan hubungan kerja.
Analis memperkirakan tarif tersebut dapat memangkas ekspor India hingga lebih dari 40 persen, atau setara hampir US$37 miliar.
Sektor tekstil menjadi yang paling rentan karena Amerika Serikat merupakan pasar terbesar, dengan pangsa sekitar 55 persen dari total ekspor tekstil India.
Meski menghadapi tekanan ekonomi, India tampaknya tetap bertekad mempertahankan kebijakan energinya.
Reliance Industries milik Mukesh Ambani serta Nayara Energy, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Rusia, merupakan pembeli terbesar minyak Rusia di India.
Hingga kini kedua perusahaan tersebut belum memberikan pernyataan resmi mengenai rencana peningkatan impor pada September.
Namun, langkah pemerintah India menunjukkan energi tetap menjadi prioritas utama, meski berisiko memperburuk hubungan dagang dengan Amerika Serikat.

0Komentar