Tampilan mewah tak selalu sejalan dengan kemampuan finansial. Di balik arus konsumsi yang makin agresif, banyak warga Indonesia kini rela berutang hanya demi terlihat ‘naik kelas’.
Fenomena ini tak lagi terbatas pada ibu kota. Di kota kecil hingga pelosok desa, budaya gaya hidup tinggi makin jamak dan celakanya, tak selalu ditopang kemampuan finansial.
Di tengah stagnasi upah dan tekanan biaya hidup, sebagian masyarakat justru memilih menyewa kemewahan: dari mobil, tas bermerek, hingga tampilan Instagramable demi validasi sosial. Gengsi menjadi semacam mata uang sosial baru dan utang adalah alat transaksinya.
“Mereka lebih takut terlihat miskin daripada benar-benar jatuh miskin,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS. “Ini bukan lagi soal ekonomi, tapi soal eksistensi.”
Konsumsi Tak Lagi Rasional
Konsumsi rumah tangga masih menjadi penggerak utama ekonomi nasional. Pada kuartal I 2025, kontribusinya terhadap PDB tercatat 52,68%. Tapi di balik sumbangan besar itu apakah semua konsumsi itu benar-benar perlu, atau sekadar pencitraan?
Survei Katadata Insight Center (2024) mencatat, 41% responden kelas menengah mengaku membeli barang yang sebenarnya di luar jangkauan finansial, hanya karena tekanan sosial. Lebih dari separuh dari mereka menggunakan cicilan atau pinjaman online.
“Awalnya cuma pengin ikut-ikutan pakai HP mahal,” cerita Rian, 29 tahun, staf gudang di Depok. “Tapi begitu dicicil, malah ketagihan. Rasanya keren aja tiap nongkrong bisa nunjukin barang bagus.”
Dorongan seperti ini bukan hanya soal gaya, tapi tentang posisi sosial. Semakin kuat tekanan lingkungan, semakin besar kecenderungan ‘belanja demi tampilan’.
Pinjol Jadi Kompas Konsumsi
Data OJK per April 2025 mencatat total penyaluran pinjaman online mencapai Rp57,3 triliun. Sebanyak 68% di antaranya digunakan untuk konsumsi, bukan produktivitas. Artinya, pinjol bukan lagi jembatan modal usaha, melainkan ‘ATM gaya hidup’.
Banyak orang merasa ini solusi cepat, tanpa peduli risiko jangka panjang.
“Saya pinjam Rp3 juta buat beli outfit nikahan temen. Tadinya mau dibayar sekali, ternyata bunganya bikin nyesek,” kata Elsa, pegawai salon di Tangerang. “Akhirnya saya minjem lagi di aplikasi lain buat nutup yang ini.”
Fenomena gali lubang-tutup lubang makin marak. Meski OJK membatasi bunga dan denda, masih banyak pengguna yang tidak membaca syarat-syarat secara detail. Pinjaman berubah jadi jebakan, dan tak sedikit yang akhirnya dililit utang di 4–5 aplikasi sekaligus.
Tingkat kredit macet (TWP90) fintech lending memang masih di kisaran 3,46%, tapi angka ini naik dari tahun sebelumnya dan bisa jadi puncak gunung es. Banyak kasus tak tercatat karena pengguna memilih diam atau ‘kabur’.
Ekonomi Visual dan Budaya Flexing
Sosiolog menyebut era ini sebagai “ekonomi visual” di mana apa yang terlihat lebih penting daripada apa yang sebenarnya dimiliki. Media sosial menjadi panggung utama, dan gaya hidup jadi konten.
Barang bermerek, tempat nongkrong eksklusif, atau liburan ke luar negeri dijadikan bukti sukses. Bahkan jika semua itu didapat lewat cicilan atau utang.
“Hidup sekarang bukan tentang kenyamanan, tapi tentang tampilan,” kata Arie Sujito, Sosiolog UGM. “Dan ini diperparah oleh algoritma media sosial yang menormalisasi pamer sebagai gaya hidup.”
Hal itu pula yang mendorong tren sewa barang mewah. Mulai dari mobil, tas branded, hingga jasa pre-wedding di Eropa. Banyak penyedia jasa menawarkan paket cicilan dengan tagline: “Nggak usah kaya buat tampil kaya.”
Realita ini menciptakan paradoks: masyarakat tampil mewah, tapi tabungan nol, bahkan minus. Celakanya, kondisi ini mulai dianggap normal.
Ilusi Kelas Menengah
Kelas menengah Indonesia tumbuh pesat dalam dua dekade terakhir. Namun, menurut World Bank, sebagian besar dari mereka masuk kategori “vulnerable middle class” kelompok yang bisa jatuh miskin sewaktu-waktu jika ada guncangan ekonomi.
Survei Mandiri Institute 2024 mencatat hanya 27% rumah tangga kelas menengah yang punya tabungan darurat lebih dari tiga bulan. Sementara itu, lebih dari 55% mengaku membayar dua atau lebih cicilan bulanan di luar KPR dan kredit kendaraan.
“Mereka merasa naik kelas karena bisa kredit HP atau mobil,” ujar Bhima Yudhistira. “Padahal tanpa aset, tanpa tabungan, itu hanya mobilitas semu.”
Skema Buy Now Pay Later (BNPL) kian diminati generasi muda. Nilai transaksinya tembus Rp18 triliun tahun lalu dan diproyeksi naik 38% pada 2025. Ini memudahkan akses konsumsi, tapi juga memperbesar potensi gagal bayar, terutama jika inflasi dan bunga acuan terus naik.
Utang Kini Jadi Gaya Hidup
Berutang bukan lagi ‘jalan terakhir’, melainkan sudah jadi bagian dari perencanaan bulanan. Bahkan, sebagian orang mengatur pengeluaran berdasarkan limit pinjaman, bukan penghasilan. Ini perubahan pola pikir yang berbahaya.
Dalam budaya lama, utang adalah beban moral. Kini, justru jadi alat legitimasi status. Semakin tinggi cicilan, dianggap semakin ‘maju’.
“Kadang malu kalau nggak ikut patungan kado mahal atau makan di kafe. Padahal dompet udah mewek,” ujar Dinda, 26 tahun, karyawan di Semarang. “Daripada malu, ya minjem dulu. Nanti mikir bayarnya.”
Normalisasi ini membuat banyak orang mengabaikan rasio utang sehat. Disarankan agar total cicilan maksimal 30% dari penghasilan bulanan, tapi survei DBS Indonesia 2023 menemukan hampir 42% responden kelas menengah mengalokasikan lebih dari 50% penghasilannya untuk cicilan dan gaya hidup.
Solusi Tak Cukup Lewat Regulasi
Pemerintah dan OJK telah mengeluarkan regulasi ketat bagi pinjol dan layanan keuangan digital. Tapi tanpa literasi dan perubahan kultur, regulasi hanya akan jadi tempelan.
Literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Survei OJK menunjukkan tingkat literasi masyarakat hanya 49,68% per 2023. Artinya, lebih dari separuh warga belum paham cara kerja utang, bunga majemuk, dan dampak gagal bayar.
Perlu strategi holistik: dari edukasi keuangan di sekolah, kampanye sosial dari tokoh publik, hingga pelatihan digital yang menyasar komunitas rentan. Tapi yang paling sulit: mengubah narasi sukses.
“Sukses itu bukan pamer, tapi aman secara finansial. Tapi sayangnya, itu belum jadi nilai dominan,” kata Tauhid Ahmad dari INDEF.
Jika budaya konsumsi demi gengsi terus didorong oleh sistem keuangan digital tanpa kontrol sosial, bukan tidak mungkin Indonesia mengalami krisis utang individu dalam beberapa tahun ke depan. Terutama saat ekonomi melambat dan daya beli menurun.
Generasi muda hari ini hidup dalam tekanan sosial yang tak dimiliki generasi sebelumnya. Mereka harus tampil, eksis, dan "berhasil" di usia muda meski dengan cara instan.
“Kalau budaya ini tidak dibendung, kita akan punya masyarakat yang glamor secara visual, tapi rapuh secara struktural,” tutup Bhima Yudhistira.

0Komentar