AMRO peringatkan utang Indonesia bisa tembus 42% PDB pada 2029. Jika tak dikendalikan, RI berisiko alami krisis fiskal seperti Sri Lanka. (Ist)

Peringatan tajam datang dari kawasan regional. Dalam laporan Annual Consultation Report: Indonesia 2025 yang dirilis ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO), prospek fiskal Indonesia menjadi sorotan. 

Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan menembus 42% pada 2029, sebuah angka yang memunculkan tanda bahaya fiskal di tengah stagnasi penerimaan negara.

"Ini bukan sekadar soal angka. Ini menyangkut kredibilitas fiskal jangka menengah dan panjang Indonesia," tulis AMRO dalam laporannya.

Peningkatan utang tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia didorong oleh pelebaran defisit primer, membengkaknya biaya pinjaman, serta lambatnya pertumbuhan penerimaan negara. 

Salah satu faktor kunci adalah penundaan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, yang semula direncanakan diberlakukan secara menyeluruh namun akhirnya diterapkan terbatas.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran, karena memiliki pola yang mengingatkan pada krisis Sri Lanka. Negara tersebut memiliki rasio utang yang serupa, yakni 42% terhadap PDB pada 2019 dua tahun sebelum akhirnya mengalami gagal bayar dan terjerumus dalam krisis multidimensi.


Ketika belanja jor-joran tak dibayar penerimaan

Meski struktur ekonomi Indonesia dinilai relatif lebih solid, AMRO menyoroti pola belanja pemerintah yang ekspansif di tengah lemahnya kinerja penerimaan. 

Dalam APBN 2025, defisit fiskal ditargetkan sebesar 2,53% dari PDB, masih di bawah batas legal 3%. Namun, risiko pelebaran tetap ada, terutama akibat belum optimalnya reformasi perpajakan.

Rasio penerimaan pajak Indonesia masih berada di kisaran 10% dari PDB, tertinggal dari rata-rata kawasan ASEAN yang mencapai 14–15%. 

Ketergantungan tinggi terhadap pendapatan dari pajak korporasi dan cukai tembakau membuat struktur penerimaan sangat rentan terhadap guncangan. Di sisi lain, tingkat kepatuhan pajak individu masih rendah karena dominasi sektor informal.

Sementara itu, belanja negara terus melebar. Program makan siang gratis senilai US$4 miliar menjadi salah satu prioritas pemerintahan baru, di saat beban subsidi energi juga masih tinggi dan diperkirakan mencapai US$19 miliar pada 2025.

“Kalau belanja makin agresif tapi pendapatan jalan di tempat, utang akan terus membengkak. Indonesia perlu mengambil langkah korektif dalam waktu dekat,” kata Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.

Dari sisi pembiayaan pembangunan, hanya sekitar 40% dari total kebutuhan infrastruktur sebesar US$625 miliar yang dapat ditopang APBN. Sisanya harus bergantung pada pembiayaan kreatif atau partisipasi swasta, yang tidak mudah dalam kondisi fiskal yang kian ketat.


Investor mulai melirik risiko RI

Kekhawatiran bukan hanya datang dari lembaga regional. Investor global kini turut mencermati arah kebijakan fiskal Indonesia dengan lebih hati-hati. 

Dalam semester pertama 2025, penerbitan surat utang pemerintah melonjak 47% secara tahunan, mencapai Rp315,4 triliun. Angka tersebut sudah menyerap 40,7% dari target pembiayaan utang sepanjang tahun ini.

Tekanan terhadap nilai tukar rupiah pun mulai terasa, menyusul arus modal keluar akibat ketidakpastian global, termasuk dari kebijakan proteksionisme di Amerika Serikat.

“Fiskal Indonesia harus tetap fleksibel dan sigap menghadapi ketidakpastian global. Tanpa langkah korektif, ruang fiskal akan terus menyempit,” tulis AMRO dalam laporan evaluatifnya.

Pemerintah merespons kekhawatiran ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa posisi utang Indonesia masih dalam batas aman, karena berada jauh di bawah batas 60% dari PDB yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

“Pemerintah tetap menjaga kredibilitas fiskal dan berkomitmen terhadap agenda reformasi struktural,” ujar Airlangga dalam pernyataannya di Jakarta.

Namun di mata pelaku pasar, pernyataan tersebut belum sepenuhnya menenangkan. Mereka menunggu aksi konkret dalam pengendalian defisit, optimalisasi pendapatan, dan efisiensi belanja.


Reformasi atau krisis

Sejumlah langkah penyesuaian mulai disiapkan. Pemerintah tengah menyusun skema debt switch untuk surat utang era pandemi, guna mengurangi risiko pembiayaan ulang (refinancing) dalam beberapa tahun ke depan.

Dari sisi penerimaan, digitalisasi perpajakan, perluasan basis pajak, serta peningkatan kepatuhan bagi kelompok berpenghasilan tinggi masuk ke dalam agenda prioritas. Namun, eksekusinya masih menghadapi hambatan regulasi dan politik.

“Tax ratio kita masih terlalu rendah. Bahkan dibandingkan dengan Filipina, Indonesia sudah tertinggal. Harus ada upaya serius memperluas basis pajak, bukan hanya menaikkan tarif,” ujar Justinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan.

Penataan subsidi juga dinilai krusial. Selama ini, subsidi energi belum seluruhnya tepat sasaran. Dengan melakukan rasionalisasi, anggaran yang ada bisa dialihkan ke sektor produktif seperti pendidikan, infrastruktur, dan pengembangan SDM.

Membandingkan langsung Indonesia dengan Sri Lanka memang perlu kehati-hatian. Struktur perekonomian, cadangan devisa, dan basis ekspor Indonesia jauh lebih kokoh. Namun, pola ketidakseimbangan fiskal yang dibiarkan berlarut-larut tetap menyimpan potensi risiko sistemik.

Jika tidak segera dilakukan koreksi atas arah kebijakan fiskal, Indonesia bukan hanya berisiko kehilangan posisi sebagai ekonomi utama di Asia Tenggara pada 2030, tetapi juga bisa masuk ke dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap).

“Kalau arah belanja tidak diselaraskan dengan kapasitas fiskal, kita tidak hanya bicara soal utang. Kita bicara soal hilangnya momentum sejarah untuk lepas landas menjadi negara maju,” ujar Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia.

Laporan AMRO menutup evaluasinya dengan peringatan keras: “Otoritas fiskal harus tetap lincah menghadapi ketidakpastian sambil membangun kembali ruang fiskal. Tanpa langkah korektif, kemampuan manuver akan terus menurun.”

Analisis ini merujuk pada laporan AMRO 2025, Nota Keuangan RAPBN 2025 dari Kementerian Keuangan, serta data utang dari DJPPR. Pendapat ahli dikutip dari Bhima Yudhistira (CELIOS) dan Justinus Prastowo (Stafsus Menkeu). Perbandingan dengan Sri Lanka mengacu pada laporan krisis fiskal IMF.