![]() |
Gelombang demonstrasi menolak tunjangan DPR Rp50 juta per bulan menjadi sorotan media internasional, dari The Guardian hingga Al Jazeera, yang menyoroti ketidakadilan anggaran publik di Indonesia. |
Gelombang penolakan terhadap tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebesar Rp50 juta per bulan kini menjadi sorotan media internasional. Ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis menggelar aksi di sejumlah kota Indonesia untuk memprotes kebijakan tersebut, yang dianggap tidak selaras dengan kondisi ekonomi masyarakat.
Bentrokan dengan aparat, penggunaan gas air mata, dan simbol-simbol perlawanan mewarnai unjuk rasa ini.
Media Inggris, The Guardian, melaporkan bahwa tunjangan besar bagi anggota DPR hampir 10 kali lipat dari upah minimum di Jakarta.
Dalam laporannya, media tersebut menyoroti ketidakadilan pengeluaran publik yang lebih besar untuk legislator dibandingkan alokasi sektor pendidikan dan kesehatan.
“Kebijakan pemberian tunjangan ini mencerminkan semakin lebarnya jarak antara elit politik dan masyarakat luas,” tulis The Guardian.
Media tersebut juga menyebut kebijakan ini menjadi refleksi ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memperluas peran militer dalam sejumlah kebijakan publik.
Laporan serupa disiarkan oleh Reuters dan Al Jazeera, yang menekankan bentrokan antara polisi dan massa yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa, buruh, serta pengemudi ojek online.
Al Jazeera menyebut protes ini sebagai puncak frustrasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi dan apa yang mereka sebut sebagai “mafia politik”.
“Penggunaan kekuatan berlebihan dari aparat menjadi perhatian kami, terlebih saat eskalasi protes semakin meluas,” kata analis Asia Tenggara Al Jazeera, Farhan Malik.
Di sisi lain, media Singapura Channel News Asia (CNA) membandingkan besarnya tunjangan anggota DPR dengan gaji guru di Indonesia yang jauh lebih rendah.
CNA juga menyoroti janji pemerintah mengenai penghematan anggaran yang dinilai belum terealisasi.
BBC turut memberitakan insiden tragis yang terjadi di tengah aksi, termasuk kematian seorang pengemudi ojek online setelah tertabrak kendaraan lapis baja milik kepolisian.
Peristiwa ini memicu gelombang kemarahan lebih luas dan memperbesar skala protes di beberapa kota besar.
Sorotan dari media internasional dinilai memperbesar tekanan terhadap pemerintah Indonesia.
Sejumlah negara, termasuk Singapura dan Australia, telah mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya yang berada di Indonesia, mengingat risiko instabilitas politik dan sosial yang meningkat.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Rudi Hartanto, mengatakan tekanan internasional dapat mempercepat respons pemerintah terhadap isu ini.
“Jika sorotan global terus meningkat, pemerintah akan terdorong untuk mengevaluasi kembali kebijakan tunjangan ini demi meredakan ketegangan politik,” ujarnya.
Kebijakan tunjangan DPR tersebut sebelumnya diputuskan dalam rapat anggaran pemerintah dan disahkan pada pertengahan Agustus 2025.
Pemerintah menyatakan tunjangan tersebut diperlukan untuk mendukung kinerja legislator, namun gelombang protes yang terjadi menunjukkan adanya penolakan luas dari masyarakat.

0Komentar